Minggu, 29 April 2012

pengertian jarimah dan macam macamnya


BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
         Hukum merupakan petunjuk mengenai tingkah laku dan juga sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban. Hukum dapat dianggap sebagai perangkat kerja sistem sosial yang melakukan tugasnya dengan menentukan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengatur hubungan antarmanusia.
                  Keadilan harus selalu dilibatkan dalam hubungan satu manusia dengan manusia lainnya. Sebagai makhluk sosial, interaksi antarmanusia tidak dapat dimungkiri lagi. Dalam kehidupan bermasyarakat seseorang dapat menjadi “pemangsa” bagi orang lain sehingga masyarakat dengan sistem sosial tertentu harus memberikan aturan pada para anggotanya yang mengatur tentang hubungan antarsesama. Hukuman adalah sebuah cara untuk menjadikan seorang yang melakukan pelanggaran berhenti dan tidak lagi mengulanginya. Selain itu juga menjadi pelajaran kepada orang lain untuk tidak mencoba-coba melakukan pelanggaran itu. Setiap peradaban pasti memiliki bentuk hukum dan jenis hukuman tersendiri. Dan masing-masing bisa berjalan sesuai dengan apa yang telah digariskan. Dalam islam terkenal dengan istilah fiqih jinayah atu jarimah yakni ilmu  yang membahas perbuatan manusia yang salah seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan sejenisnya. Apa dan bagaimanakah jarimah itu. bagaimana macam macam jarimah itu? dan apa perbedaan jinayah dengan jarimah itu? pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dijawab dalam tulisan berikut ini.

1.2. Rumusan Masalah
      Adapun rumusan masalah pada latarbelakang tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dari Jarimah?
2.      Sebutkan macam macam Jarimah?
1.3  Tujuan
      Adapun tujuan dari rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Bisa mengetahui pengertian dari jarimah
2.      Mengetahui macam macam jarimah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Jarimah
      Pidana islam disebut juga dengan fiqih jinayah, dalam mempelajari fiqih jinayah ada dua istilah yang harus kita ketahui terlebih dahulu yaitu jinayah itu sendiri dan jarimah. Yang pertama tentang jinayah, jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan, perbuatan yang diharamkan adalah indakan yang dilarang atau dicegah oleh syara’ atau dengan kata lain jinayah itu perbuatan jahat atau salah yang mempunyai konsekuensi membahayakan jiwa, akal, agama, kehormatan. Sedangkan jarimah mempunyai arti yang sama dengan jinayah yaitu mengandung arti perbuatan buruk, jelek, dosa. Akan tetapi Kata jarimah identik dengan pengertian yang disebut dalam hukum positif sebagai tindak pidana atau pelanggaran. Contohnya adalah jarimah pencurian, jarimah pembunuhan, dan sejenisnya. Jadi di dalam hukum positif jarimah distilahkan dengan delik atau tindak pidana yang melanggar hukum. Seseorang yang tidak melanggar hokum tidak bisa dikatan tindak pidana atau delik, menurut sudut pandang hokum positif Indonesia. Sedangkan menurut kaca mata fiqh jinayah adalah seseorang yang meninggalkan perintah agama dan melanggar perbuatan yang dilarang oleh agama disebut dengan jarimah.

B. Macam Macam Jarimah
      Jarimah dapat dibagi menjadi bermacam macam bentuk dan jenis. Tergantung pada sudut pandang  mana kita melihatnya atau aspek yang menonjol.
1.      Dilihat dari Pelaksanaannya
Aspek yang ditonjolkan dari perbuatan jarimah ini ada 2 aspek jarimah pertama, jarimah ijabiyah, yaitu seseorang yang melakukan atau melaksanakan perbuatan yang sudah dilarang atau perbuatan yang terlarang. Dalam hukum positif disebut dengan delict commisionis contoh melakukan zina, pembunuhan dll.
Kedua, jarimah salabiyah, yaitu seseorang yang tidak mengerjakan perbuatan yang duperintahkan oleh islam. Contohnya meninggalkan sholat, zakat, puasa dll.
2.      Dilihat dari Niatnya
Pembagian dalam sudut pandang ini terbagi menjadi dua bagian yaitu perbuatan yang disengaja (jaraim al-makhsudah) dan perbuatan yang tidak disengaja (jaraim ghair makhsudah). Contoh perbuatan disengaja adalah seseorang yang masuk ke rumah orang lain dengan maksud mencuri sesuatu yang ada di rumah tersebut. Sedangkan contoh perbuatan yang tidak disengaja adalah seseorang yang bermaksud mengejutkan orang lain tetapi yang dikejuti mempunyai penyakit jantung akhirnya meninggal dunia.
3.      Dilihat dari Objeknya
Aspek ini tertuju pada manusia atau sekelompok masyarakat. Jika objeknya perseorangan maka disebut dengan jarimah perseorangan. Dan jika objeknya masyarakat maka disebut dengan jarimah masyarakat. Kemudian para ulama mengatakan bahwa jarimah perseorangan menjadi hak adami (hak perseorangan ) sedangkan jarimah masyarakat menjadi hak jama’ah (hak Allah)
4.      Dilihat dari Motifnya
Sudut pandang ini di bagi menjadi 2 bagian yaitu jarimah politik dan jarimah biasa. Arti dari jarimah politik adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang orang tertentu yang bertujuan politik untuk melawan pemerintah contohnya pemberontakan bersenjata, mengacaukan perekonomian dll. Sedangkan jarimah biasa adalah perbuatan yang tidak ada hubungan dengan politik contohnya perbuatan mencuri ayam, mencuri sepeda motor dll.
5.      Dilihat dari Bobot Hukuman
 Jarimah Ditinjau dari Aspek Bobot hukumannya
a.       Jarimah Hudud
            Jarimah hudud adalah  jarimah yang diancam dengan hukuman had. Hukuman had sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah: “Hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah.[1]
Ciri khas dari jarimah hudud:
1)    Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam artian bahwa hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas maksimal dan minimal.
2)    Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata. Pengertian akan hak Allah menurut Mahmud Syaltut.[2]
Hak Allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada masyarakat dan tidak tertentu bagi seseorang”
Jarimah hudud ini ada tujuh macam:
1)         Jarimah zina: Rajam, melempari pezina dengan batu sampai ajal.
2)         Jarimah qadzaf (menuduh zina) menuduh wanita baik-baik berbuat zina tanpa ada bukti yang meyakinkan.
3)         Jarimah Syurbul Khamr: diharamkan, termasuk narkotika, sabu, heroin, dan lainnya. Hukumannya 40 kali dera sebagai had, dan 40 kali dera sebagai hukum ta`zir sebagaimana yang dipraktekkan oleh Umar bin Khattab.
4)         Jarimah pencurian: Sariqah ialah perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam dengan maksud untuk memiliki serta tidak adanya paksaan. Dalam Al-Quran, Jarimah Sariqah adalah potong tangan.
5)         Jarimah hirabah: sekelomok manusia yang membuat keonaran, pertumpahan darah, merampas harta, dan kekacauan. Hukuman bagi haribah adalah hukuman bertingkat.
6)         Jarimah riddah: keluar dari agama islam.
7)         Jarimah Al Bagyu: pemberontakan, yaitu keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Imam yang sah tanpa alasan. [3]

b.      Jarimah Qishash dan Diyat
               Adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishas dan diyat (ganti rugi dari si pelaku kepada si korban atau walinya). Baik qishas maupun diyat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan syara’ dan merupakan hak individu. Pengertian akan hak manusia (individu) menurut Mahmud Syaltut:
‘Hak manusia adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada orang tertentu’
Ciri khas jarimah qishas dan diyat:
1)      Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan syara’ dan tidak ada batas maksimal dan minimal.
2)      Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.
Jarimah qishas dan diyat terbagi menjadi:
1)      Pembunuhan sengaja (al-qotlul‘amdu)
2)      Pembunuhan menyerupai sengaja (al-qotlu syibhul’amdi)
3)      Pembunuhan karena kesalahan (al-qotlul khotho-u)
4)      Penganiayaan sengaja (al-jar’hul ‘amdu)
5)      Penganiayaan tidak sengaja (al-jar’hul khotho-u)[4]
               Perbedaan antara qishas dengan diyat adalah qishas merupakan bentuk hukuman bagi pelaku jarimah terhadap jiwa, anggota badan yang dilakukan dengan di sengaja. Adapaun diyat objeknya sama dengan qishas tetapi dilakukan dengan tanpa disengaja. Di samping itu diyat merupakan hukuman pengganti dari hukuman qisahash yang dimaafkan.

c.       Jarimah Ta’zir
              Adalah jarimah yang hukumannya bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Namun hukum ta`zir juga dapat dikenakan atas kehendak masyarakat umum, meskipun bukan perbuatan maksiat, melainkan awalnya mubah. Dasar hukum ta`zir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan. Pelaksanaannyapun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan. Karena sifatnya yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil.[5]
Ciri khas jarimah ta’zir:
1)         Hukumannya tidak tertentu dan terbatas. Artinya hukuman tersebut belum ditentukan syara’ dan ada batas maksimal dan minimalnya.
2)         Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa
Jenis jarimah ta’zir menurut Ibnu Taimiyah;
“Perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat, seperti mencium anak-anak (dengan syahwat), mencium wanita lain yang bukan isteri, tidur satu ranjang tanpa persetubuhan atau memakan barang yang tidak halal seperti darah dan bangkai.”
         Jarimah Ta`zir juga bisa dibagi menjadi tiga macam
1)      Jarimah yang berasal dari hudud namun terdapat syubhat
2)      Jarimah yang dilarang nash, namun belum ada hukumnya
3)      Dan jarimah yang jenis dan sanksinya belum ditentukan oleh syara’.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Jarimah adalah perbuatan dosa dan salah, jika istilah di aplikasikan pada hokum Indonesia maka jarimah sama dengan hokum positif atau delik (oerbuatan yang melanggar hukum). Maka jarimah itu perbuatan seseorang yang melanggr hokum atau berbuat salah pada seseorang baik jiwa seseorang maupun bagian tubuh seseorang.
Macam macam jarimah di lihat dari sudut pandang berbeda
1.      Dilihat dari pelaksanaannya: seseorang yang melakukan apa yang dilarang oleh agama. Seperti zina, mencuri, membunuh (jarimah ijabiyah). Dan tidak melakukan apa yang diperintah-Nya.
2.      Dilihat dari niatnya: di sengaja atau tidak disengaja
3.      Dilihat dari objeknya: jarimah perseorangan dan jarimah masyarakat.
4.      Dilihat dari motifnya: jarimah politik yaitu yang membahas politik dan jarimah biasa yaitu jarimah yang tidak berhubungn dengan politik, seperti mencuri ayam
5.      Diliha dari bobot hukuman
a.       Jarimah hudud
b.      Jarimah qishas/diyat
c.       Jarimah Ta’zir



DAFTAR PUSTAKA

Drs.. Muslich, H Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm.24

Ahmad Hanafi, MA., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), h. 13.

Hakim, Drs. H. Rahmat, Hukum Pidana Islam, Bandung: CV Pustaka Setia,



[1] Drs.. Muslich, H Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm.24
[2] Ahmad Hanafi, MA., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), h. 13
[3] Hakim, Drs. H. Rahmat, Hukum Pidana Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, hal. 27
[4] Ibid,  Hal. 29
[5] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., h. 18-19

Rabu, 22 Februari 2012

Cinta Dan Focus, Kunci Meraih Sukses



Di saat hatiku resah dan gelisah ditimpa beban berat persoalan hidup sebagai ujian, aku mencoba untuk tetap tenang. Aku merasa ada yang salah dalam kinerja pola pikiranku selama ini. Ini bisa aku ketahui dari segala tindak-tanduk yang pernah aku jalani selama ini, hamper semua gagal. Walaupun tidak semuanya. Parahnya lagi, kegagalan itu terus saja ku ulang-ulang sampai beberapa kali. Sampai pada waktu sekarang, aku masih mengamalkan kegagalan itu.
            Dalam setiap proses hidup memang harus didasari oleh rasa cinta. Dengan adanya cinta, segala apa pun yang kita kerjakan, segala apa pun yang kita ingin raih, kita impikan, kita cita-citakan, akan segera terwujud. Walaupun terkadang membutuhkan waktu yang tidak singkat. Namun dengan adanya cinta, sepanjang apa pun prose situ, kita tetap akan merasakan kebahagiaan, kedamaian, dan kepuasan. Dengan cinta itulah, proses hidup menjadi indah.
            Aku menilai, kegagalanku selama ini ada pada persoalan cinta. Setiap proses yang aku jalani seringkali menjauh dari perasaan cinta. Yang dekat justru perasaan benci karena rasa keterpaksaan. Aku terpaksa menulis, aku terpaksa bekerja, aku terpaksa kuliah, aku terpaksa ke sana ke mari tanpa ada tujuan, visi dan misi yang jelas, karena ada tuntutan materi, tuntutan gengsi, tuntutan social, tuntutan egoisme, dan tuntutan hidup. Tidak justru karena perasaan suka, perasaan cinta terhadap sesuatu yang memang harus aku lakukan. Ini yang membuatku tidak bisa total dan maksimal dalam menjalani proses hidup. Akibatnya, semua yang pernah aku lakukan, aku jalani hanya dengan perasaan setengah hati. Hasilnya pun setengah-setengah.
            Cinta memang penting penting. Terutama dalam proses pencapaian hidup, atau proses perjalanan hidup. Dengan cinta itu, kita bisa merasakan kenikmatan berproses. Walaupun hasil yang kita usahakan belum tentu bisa terwujud. Namun dengan cinta, semua itu tidak masalah. Sayangnya, aku gagal mencintai setiap proses yang aku jalani selama ini. Rasa cinta itu kering dalam hatiku. Bagaimana menumbuhkan rasa cinta itu? Ini yang aku coba untuk menemukanya.
            Kalau melihat mereka yang berproses dengan cinta, hati ini merasa sangat iri sekali. Terlihat mereka sangat tekun menikmati proses hidupnya. Segala kondisi dan situasi yang terjadi disekitarnya, tidak sampai membuat mereka terusik. Juatru semain berlama-lama dalam kesendirian menikmati proses. Tida sedikit teman-temanku yang bisa seperti itu. Karena cintanya pada dunia kepenulisan, kesehariannya diisi hanya dengan menulis tanpa sedikit pun merasa lelah. Dia yang suka di dunia maya, internet, sangat menikmati prosesnya hingga tak sempat menyapa teman dekatnya. Aku iri melihat meraka. Mengapa aku tidak bisa seperti mereka?
            Duniaku dengan dunia mereka sama. Aku terjun dalam dunia kepenulisan. Dia pun begitu. Aku terjun dalam dunia maya, dia pun sama. Dia terjun dalam dunia bisnis, aku pun begitu. Yang membedakan hanya rasa cinta. Mereka punya rasa cinta pada dunia yang digelutinya. Sedangkan aku tidak. Hasilnya, mereka bisa total dalam menjani prosesnya. Sedangkan aku, hasilnya hanya setengah-setengah.
            Ini kelemahanku. Di situ kelebihan mereka. Yaitu cinta dalam menjalani proses hidup. Bukan perasaan keterpaksaan yang membuat mereka berproses. Sedangkan aku, rasa keterpaksaan yang mendasari aku berproses. Padahal, dengan perasaan cinta, kegagalan bukan suatu persoalan yang harus disesali. Justru itu menjadi tantangan yang sungguh sangat indah untuk dijalani. Dengan cinta pula, kefokusan pada pencapian hidup bisa maksimal.
            Focus pada suatu pencapian sangatlah penting. Diri kita terseting oleh sang pencipta, hanya bisa mengerjakan sesuatu pada satu arah. Iniah yang disebut focus. Dengan konsisten pada satu arah, hasil pencapian bisa maksimal. Pikiran dan perasaan bisa berperan maksimal untuk menjalani proses. Berbeda dengan pikiran yang tidak focus. Pikiran menjadi terpecah-pecah. Proses yang kita jalani menjadi tidak maksimal.
            Persoalan ini juga aku alami. Proses hidup yang aku jalani sangat semrawot. Kadang berpikir persoalan ini, kadang berpikir persoalan itu. Persoalan satu belum bisa aku selesaikan, pindah ke persoalan lain. Hasilnya, persoalan semua gagal aku selesaikan. Pola piker semacam itu yang membuatku selama ini gagal menjalani hidup. Menjadi penulis gagal, bisnismen gagal, mahasiswa gagal, orang kaya gagal. Semuanya serba gagal.
            Pengalaman memang sangat berharga. Dari pengalaman kekegalan yang pernah aku rasakan selama ini, aku ingin memperbaiki kembali. Aku ingin konsisten pada prosesku. Aku ingin focus pada setiap yang sedang aku geluti. Dan juga, aku ingin bisa mencintai semua itu. Apa pun caranya, sebisa mungkin harusa aku dapatkan semua itu.
Hari ini memang terasa sebagai hari istimewa buatku. Hari ini aku bisa melakukan refleksi hidup. Hidup dari kegagalan-kegagalan yang sering aku rasakan. Kegagalan akibat ketidakcintaanku pada proses, dan ketidakfokusanku pada proses. Aku berharap, buah pengalamaku bisa memperbaiki hari selanjutnya. Amiiiin ya robal alamin.

Al jihad sby, 01/04/2011

Senin, 20 Februari 2012

Akibat Hukum Dalam Peristiwa Pisah Ranjang Menurut KUHP

KATA PENGANTAR

Segala Puja dan Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Taufiq, Hidayah serta Inayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat dan salam selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Dan juga tidak lupa ucapan terima kasih kepada Dr. Sri Warjiyati SH. MH yan g telah memberikan tugas makalah kepada saya.

Makalah ini disusun untuk mempermudah kami dalam mempelajari tentang “Akibat Hukum Dalam Peristiwa Pisah Ranjang Menurut KUHP”. Makalah ini disusun untuk memenuhi ujian susulan mata kuliah “Hukum Perdata I”

Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sebagaimana dalam pepatah Tiada Gading Yang Tak Retak. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan untuk penyusunan makalah berikutnya.

Demikian makalah ini kami buat, kami minta maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan apa yang kami tulis dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat, dan bisa di terima oleh Bu Dosen. Amin.

Surabaya, 17 februari 2012

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama Dari rumusan Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata (BW) tersebut di atas dapat diketahui bahwa KUH Perdata (BW) memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan saja. Artinya adalah bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat syarat yang ditetapkan dalam KUH Perdata (BW) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan. Di samping itu KUH Perdata (BW) juga menganut asas monogami absolut dan melarang polygami. Larangan ini termasuk ketertiban umum, yang apabila dilanggar akan diancam dengan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan itu.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada latarbelakang tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sebutkan pengetian perkawinan menurut hukum perdata?

2. Apa saja Syarat syarat perkawinan menurut hukum perdata?

3. Bagaimana akibat hukum yang timbul terhadap terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang menurut KUH Perdata (BW) tersebut?

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui arti dan syarat syarat perkawinan menurut KUHP

2. Mengetahui akibat hukum yang timbul terhadap terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang menurut KUH Perdata (BW) tersebut

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. [1] di dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 KUHP menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apaila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Dan tiap tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang undangan yang berlaku.

B. Syarat syarat perkawinan

Dalam mengetahui syarat syarat perkawinan maka yang perlu diketahui adalah melihat undang undang KUHP tentang syarat syarat perkawinan, berikut adalah undang undang yang berisi atau berbab tentang syarat syarat perkawinan.

BAB II

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal duriia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7

1. Perkawinan hanya diizinkanjika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang :

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;

d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;

e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suamiberisterilebih dari seorang;

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 9

Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan oranglain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10

Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11

1. Bagi seorangwanitayangputus perkawinannya berlakujangka waktu tunggu.

2. Tenggang waktujangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lehih lanjut.

Pasal 12

Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

C. Akibat hukum yang timbul terhadap terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang menurut kuh perdata (bw) .

Pengertian pisah ranjang menurut para ahli hokum adalah sebagai berikut

Menurut Tan Thong Kie perpisahan meja dan ranjang pada hakekatnya adalah perpisahan antara suami dan isteri tanpa mengakhiri pernikahan tersebut. Akibat terpenting perpisahan ini adalah ditiadakannya kewajiban bagi suami dan isteri untuk tinggal bersama, walaupun akibatnya di bidang hukum harta benda adalah sama dengan perceraian[2].

Menurut Thorkish Pane, perpisahan meja dan ranjang adalah suatu peritiwa hokum yang menimbulkan akibat hukum terhadap status perkawinan pasangan suami isteri tersebut dimana kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama antara suami isteri tersebut menjadi hapus oleh karenanya dan juga dapat menimbulkan pengakhiran percampuran harta benda perkawinan, namun tidak mengakibatkan putusnya ikatan perkawinan tersebut.

Menurut PNH Simanjuntak, yang dimaksud dengan perpisahan meja dan ranjang adalah suatu keadaan dimana pasangan suami isteri yang masih terikat tali perkawinan tidak mempunyai kewajiban lagi untuk tinggal bersama dalam satu rumah sebagaimana layaknya pasangan suami-isteri, dan dapat pula menimbulkan pemisahan percampuran harta benda perkawinan seolah-olah telah terjadi perceraian.

Menurut Ali Affandi, pisah meja dan ranjang adalah perpisahan tempat tinggal antara suami dan isteri yang masih terikat tali perkawinan dan juga perpisahan percampuran harta benda perkawinan antara pasangan suami isteri tersebut seolah-olah perkawinan telah berakhir atau telah terjadi perceraian. Dari defenisi para sarjana yang telah disebutkan di atas, maka dapat ditegaskan garis besar dari definisi pisah meja dan ranjang tersebut yaitu:

1. Adanya perpisahan tempat tinggal antara pasangan suami-isteri

2. Adanya perpisahan harta benda perkawinan

3. Masih terikat dalam suatu ikatan perkawinan

Alasan-alasan yang dapat menjadi dasar tuntutan pisah meja dan ranjang tersebut

adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 233 KUH Perdata (BW) yaitu:[3]

1. Semua alasan untuk meminta perceraian sebagaimana yang tercantum di dalam pasal 209 KUH Perdata (BW) sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan di atas.

2. Perbuatan melampaui batas penganiayaan, dan penghinaan kasar yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya.

3. Tanpa alasan.

Alasan untuk menuntut pisah meja dan ranjang antara suami dan isteri adalah sama dengan alasan untuk menuntut perceraian. Perbedaannya adalah bahwa perceraian tidak boleh dilaksanakan atas persetujuan antara suami dan isteri. Hal ini diatur di dalam pasal 208 KUH Perdata (BW) dimana dinyatakan bahwa, “Perceraian suatu perkawinan tidak dapat dicapai dengan suatu persetujuan antara kedua belah pihak yaitu suami dan isteri, sedangkan pada tuntutan pisah meja dan ranjang boleh diperintahkan Hakim atas permintaan kedua suami-isteri bersama-sama dalam mana tidak ada kewajiban bagi mereka mengemukakan alasan-alasan tertentu”. Perpisahan meja dan ranjang atas permintaan suami-isteri secara bersamasama baru boleh diizinkan apabila perkawinan antara suami dan isteri tersebut telah berlangsung minimal dalam jangka waktu 2 (dua) tahun. Hal ini dinyatakan dalam pasal 236 KUH Perdata (BW). Adapun pasal 236 KUH Perdata (BW) tersebut di atas menyatakan bahwa, “Perpisahan meja dan ranjang boleh juga diperintahkan oleh hakim atas permintaan kedua suami-isteri bersama-sama, dalam mana tidak ada kewajiban bagi mereka mengemukakan alasan-alasan tertentu. Perpisahan yang demikian tak boleh diizinkan, melainkan apabila suami dan isteri telah kawin selama dua tahun”.

Pasal 237 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Sebelum meminta perpisahan meja dan ranjang, suami dan isteri berwajib dengan sebuah akta otentik mengatur syarat-syarat perpisahan meja dan ranjang tersebut baik terhadap mereka sendiri maupun mengenai penunaian kekuasaan orang tua dan usaha pemeliharaan beserta pendidikan anak-anak mereka. Tindakan-tindakan yang telah mereka rancangkan untuk dilakukan sepanjang pemeriksaan harus dikemukakan untuk dikuatkan oleh pengadilan pun juga perlu untuk diatur oleh pengadilan sendiri”.

Pasal 238 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Permintaan perpisahan meja dan ranjang kedua suami-isteri tersebut harus dimajukan kepada pengadilan negeri tempat tinggal mereka dan harus pula dilampirkan dalam pengajuan tersebut lampiran akte perkawinan maupun lampiran perjanjian yang memuat syarat-syarat pisah meja dan ranjang yang dibuat dalam akta otentik (Notaril)”. Dalam perjanjian yang memuat syarat-syarat pisah meja dan ranjang yang dibuat dalam bentuk akta otentik notaril dimuat mengenai perpisahan tempat tinggal (rumah) dimana diantara suami dan isteri tersebut telah terpisah tempat tinggal dan isteri tidak lagi punya kewajiban untuk mengikuti tempat tinggal suaminya. Pada perjanjian tersebut juga dimuat mengenai status harta benda dari masing-masing pihak yang tetap dimiliki oleh suami atau isteri tersebut. Mengenai kekuasaan orang tua terhadap anak-anak belum dewasa yang dilahirkan dari perkawinan tersebut apabila terjadi pisah meja dan ranjang adalah berdasarkan atas keputusan hakim.

Pasal 230a KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Jika kiranya anak-anak yang belum dewasa itu tidak sesungguhnya telah berada dalam kekuasaan seorang, yang menurut pasal 229 atau 230 KUH Perdata (BW) diwajibkan melakukan perwalian atau dalam kekuasaan si suami, si isteri atau Dewan Perwalian kepada siapa anak anak itu dipercayakannya, menurut pasal 214 ayat kesatu KUH Perdata (BW), maka dalam penetapan harus diperintahkan pula penyerahan anak-anak tersebut”. Pasal 230a KUH Perdata (BW) ini memiliki makna bahwa apabila tuntutan pisah meja dan ranjang antara suami dan isteri telah dikabulkan oleh Hakim pada Pengadilan negeri maka kekuasaan orang tua terhadap anak-anak ditetapkan oleh Hakim diantara suami atau isteri tersebut. Penetapan kekuasaan orang tua terhadap anak-anak bisa dialihkan oleh hakim kepada pihak ketiga (Keluarga Sedarah/Semenda) atau Dewan Perwalian apabila kedua suami-isteri tersebut telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua mereka. Penetapan ini berlaku setelah hari keputusan pisah meja dan ranjang antara suami dan isteri memperoleh kekuatan mutlak/kepastian Hukum. Pada umumnya keputusan Hakim atas hak pengasuhan anak apabila anak itu belum dewasa jatuh ketangan ibunya (Isteri). Kecuali apabila kekuasaan ibu (isteri) tersebut telah dibebaskan atau dipecat oleh hakim melalui suatu keputusan pengadilan.[4]

Mengenai harta benda yang dikuasai oleh isteri sejak terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang diberikan izin dan kuasa yang tidak dapat dicabut kembali oleh pihak suami untuk mengurus kepentingannya dengan tidak perlu mendapat bantuan dari pihak suami. Demikian juga dalam hal melakukan segala tindakan pengurusan dan pemilikan tidak terbatas pada hak untuk menjual, mengadaikan atau mengadakan perjanjian dagang. Perjanjian yang memuat syarat-syarat perpisahan meja dan ranjang dalam bentuk akta otentik notaril dilakukan sebelum diajukan tuntutan pisah meja dan ranjang ke hadapan pengadilan. Pengadilan akan mensahkan perjanjian yang memuat syarat-syarat perpisahan meja dan ranjang tersebut yang menjadi ketentuan mengikat bagi pasangan suami-isteri tersebut.[5]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan pada pembahasan di atas adalah sebagai berikut

1. Pengertian perkawinan adalah menyatunya dua insan yaitu laki laki dan perempuan untuk menjalin hubungan suami istri.

2. Para ahli mendefinisikan pisah ranjang adalah perpisahnya suami dengan istri tapi belum masuk dalam perceraian.

3. Kesimpulan dari pengertian pisah ranjang yang disimpulkan para ahli adalah sebagai berikut”

1. Adanya perpisahan tempat tinggal antara pasangan suami-isteri

2. Adanya perpisahan harta benda perkawinan

3. Masih terikat dalam suatu ikatan perkawinan

DAFTAR PUSTAKA

KUHP Tentang perkawinan BAB I

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm 194.

Zoelfiqri Mahmud, Sistem Hukum Perdata di Indonesia, Mitra Kencana, Jakarta, 1996, hlm. 37.

[1] Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesa. Jakarta : Kencana



[1] KUHP Tentang perkawinan BAB I

[2] 10 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm 194.

[3] Zoelfiqri Mahmud, Sistem Hukum Perdata di Indonesia, Mitra Kencana, Jakarta, 1996, hlm. 37.

[4] Ibid Hal. 39

[5] Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesa. Jakarta :

Kencana