Minggu, 29 April 2012
pengertian jarimah dan macam macamnya
Rabu, 22 Februari 2012
Cinta Dan Focus, Kunci Meraih Sukses
Senin, 20 Februari 2012
Akibat Hukum Dalam Peristiwa Pisah Ranjang Menurut KUHP
KATA PENGANTAR
Segala Puja dan Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Taufiq, Hidayah serta Inayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat dan salam selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Dan juga tidak lupa ucapan terima kasih kepada Dr. Sri Warjiyati SH. MH yan g telah memberikan tugas makalah kepada saya.
Makalah ini disusun untuk mempermudah kami dalam mempelajari tentang “Akibat Hukum Dalam Peristiwa Pisah Ranjang Menurut KUHP”. Makalah ini disusun untuk memenuhi ujian susulan mata kuliah “Hukum Perdata I”
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sebagaimana dalam pepatah Tiada Gading Yang Tak Retak. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan untuk penyusunan makalah berikutnya.
Demikian makalah ini kami buat, kami minta maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan apa yang kami tulis dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat, dan bisa di terima oleh Bu Dosen. Amin.
Surabaya, 17 februari 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama Dari rumusan Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata (BW) tersebut di atas dapat diketahui bahwa KUH Perdata (BW) memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan saja. Artinya adalah bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat syarat yang ditetapkan dalam KUH Perdata (BW) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan. Di samping itu KUH Perdata (BW) juga menganut asas monogami absolut dan melarang polygami. Larangan ini termasuk ketertiban umum, yang apabila dilanggar akan diancam dengan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan itu.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada latarbelakang tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sebutkan pengetian perkawinan menurut hukum perdata?
2. Apa saja Syarat syarat perkawinan menurut hukum perdata?
3. Bagaimana akibat hukum yang timbul terhadap terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang menurut KUH Perdata (BW) tersebut?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui arti dan syarat syarat perkawinan menurut KUHP
2. Mengetahui akibat hukum yang timbul terhadap terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang menurut KUH Perdata (BW) tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. [1] di dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 KUHP menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apaila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Dan tiap tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang undangan yang berlaku.
B. Syarat syarat perkawinan
Dalam mengetahui syarat syarat perkawinan maka yang perlu diketahui adalah melihat undang undang KUHP tentang syarat syarat perkawinan, berikut adalah undang undang yang berisi atau berbab tentang syarat syarat perkawinan.
BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal duriia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
1. Perkawinan hanya diizinkanjika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suamiberisterilebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan oranglain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 11
1. Bagi seorangwanitayangputus perkawinannya berlakujangka waktu tunggu.
2. Tenggang waktujangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lehih lanjut.
Pasal 12
Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
C. Akibat hukum yang timbul terhadap terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang menurut kuh perdata (bw) .
Pengertian pisah ranjang menurut para ahli hokum adalah sebagai berikut
Menurut Tan Thong Kie perpisahan meja dan ranjang pada hakekatnya adalah perpisahan antara suami dan isteri tanpa mengakhiri pernikahan tersebut. Akibat terpenting perpisahan ini adalah ditiadakannya kewajiban bagi suami dan isteri untuk tinggal bersama, walaupun akibatnya di bidang hukum harta benda adalah sama dengan perceraian[2].
Menurut Thorkish Pane, perpisahan meja dan ranjang adalah suatu peritiwa hokum yang menimbulkan akibat hukum terhadap status perkawinan pasangan suami isteri tersebut dimana kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama antara suami isteri tersebut menjadi hapus oleh karenanya dan juga dapat menimbulkan pengakhiran percampuran harta benda perkawinan, namun tidak mengakibatkan putusnya ikatan perkawinan tersebut.
Menurut PNH Simanjuntak, yang dimaksud dengan perpisahan meja dan ranjang adalah suatu keadaan dimana pasangan suami isteri yang masih terikat tali perkawinan tidak mempunyai kewajiban lagi untuk tinggal bersama dalam satu rumah sebagaimana layaknya pasangan suami-isteri, dan dapat pula menimbulkan pemisahan percampuran harta benda perkawinan seolah-olah telah terjadi perceraian.
Menurut Ali Affandi, pisah meja dan ranjang adalah perpisahan tempat tinggal antara suami dan isteri yang masih terikat tali perkawinan dan juga perpisahan percampuran harta benda perkawinan antara pasangan suami isteri tersebut seolah-olah perkawinan telah berakhir atau telah terjadi perceraian. Dari defenisi para sarjana yang telah disebutkan di atas, maka dapat ditegaskan garis besar dari definisi pisah meja dan ranjang tersebut yaitu:
1. Adanya perpisahan tempat tinggal antara pasangan suami-isteri
2. Adanya perpisahan harta benda perkawinan
3. Masih terikat dalam suatu ikatan perkawinan
Alasan-alasan yang dapat menjadi dasar tuntutan pisah meja dan ranjang tersebut
adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 233 KUH Perdata (BW) yaitu:[3]
1. Semua alasan untuk meminta perceraian sebagaimana yang tercantum di dalam pasal 209 KUH Perdata (BW) sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan di atas.
2. Perbuatan melampaui batas penganiayaan, dan penghinaan kasar yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya.
3. Tanpa alasan.
Alasan untuk menuntut pisah meja dan ranjang antara suami dan isteri adalah sama dengan alasan untuk menuntut perceraian. Perbedaannya adalah bahwa perceraian tidak boleh dilaksanakan atas persetujuan antara suami dan isteri. Hal ini diatur di dalam pasal 208 KUH Perdata (BW) dimana dinyatakan bahwa, “Perceraian suatu perkawinan tidak dapat dicapai dengan suatu persetujuan antara kedua belah pihak yaitu suami dan isteri, sedangkan pada tuntutan pisah meja dan ranjang boleh diperintahkan Hakim atas permintaan kedua suami-isteri bersama-sama dalam mana tidak ada kewajiban bagi mereka mengemukakan alasan-alasan tertentu”. Perpisahan meja dan ranjang atas permintaan suami-isteri secara bersamasama baru boleh diizinkan apabila perkawinan antara suami dan isteri tersebut telah berlangsung minimal dalam jangka waktu 2 (dua) tahun. Hal ini dinyatakan dalam pasal 236 KUH Perdata (BW). Adapun pasal 236 KUH Perdata (BW) tersebut di atas menyatakan bahwa, “Perpisahan meja dan ranjang boleh juga diperintahkan oleh hakim atas permintaan kedua suami-isteri bersama-sama, dalam mana tidak ada kewajiban bagi mereka mengemukakan alasan-alasan tertentu. Perpisahan yang demikian tak boleh diizinkan, melainkan apabila suami dan isteri telah kawin selama dua tahun”.
Pasal 237 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Sebelum meminta perpisahan meja dan ranjang, suami dan isteri berwajib dengan sebuah akta otentik mengatur syarat-syarat perpisahan meja dan ranjang tersebut baik terhadap mereka sendiri maupun mengenai penunaian kekuasaan orang tua dan usaha pemeliharaan beserta pendidikan anak-anak mereka. Tindakan-tindakan yang telah mereka rancangkan untuk dilakukan sepanjang pemeriksaan harus dikemukakan untuk dikuatkan oleh pengadilan pun juga perlu untuk diatur oleh pengadilan sendiri”.
Pasal 238 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Permintaan perpisahan meja dan ranjang kedua suami-isteri tersebut harus dimajukan kepada pengadilan negeri tempat tinggal mereka dan harus pula dilampirkan dalam pengajuan tersebut lampiran akte perkawinan maupun lampiran perjanjian yang memuat syarat-syarat pisah meja dan ranjang yang dibuat dalam akta otentik (Notaril)”. Dalam perjanjian yang memuat syarat-syarat pisah meja dan ranjang yang dibuat dalam bentuk akta otentik notaril dimuat mengenai perpisahan tempat tinggal (rumah) dimana diantara suami dan isteri tersebut telah terpisah tempat tinggal dan isteri tidak lagi punya kewajiban untuk mengikuti tempat tinggal suaminya. Pada perjanjian tersebut juga dimuat mengenai status harta benda dari masing-masing pihak yang tetap dimiliki oleh suami atau isteri tersebut. Mengenai kekuasaan orang tua terhadap anak-anak belum dewasa yang dilahirkan dari perkawinan tersebut apabila terjadi pisah meja dan ranjang adalah berdasarkan atas keputusan hakim.
Pasal 230a KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, “Jika kiranya anak-anak yang belum dewasa itu tidak sesungguhnya telah berada dalam kekuasaan seorang, yang menurut pasal 229 atau 230 KUH Perdata (BW) diwajibkan melakukan perwalian atau dalam kekuasaan si suami, si isteri atau Dewan Perwalian kepada siapa anak anak itu dipercayakannya, menurut pasal 214 ayat kesatu KUH Perdata (BW), maka dalam penetapan harus diperintahkan pula penyerahan anak-anak tersebut”. Pasal 230a KUH Perdata (BW) ini memiliki makna bahwa apabila tuntutan pisah meja dan ranjang antara suami dan isteri telah dikabulkan oleh Hakim pada Pengadilan negeri maka kekuasaan orang tua terhadap anak-anak ditetapkan oleh Hakim diantara suami atau isteri tersebut. Penetapan kekuasaan orang tua terhadap anak-anak bisa dialihkan oleh hakim kepada pihak ketiga (Keluarga Sedarah/Semenda) atau Dewan Perwalian apabila kedua suami-isteri tersebut telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua mereka. Penetapan ini berlaku setelah hari keputusan pisah meja dan ranjang antara suami dan isteri memperoleh kekuatan mutlak/kepastian Hukum. Pada umumnya keputusan Hakim atas hak pengasuhan anak apabila anak itu belum dewasa jatuh ketangan ibunya (Isteri). Kecuali apabila kekuasaan ibu (isteri) tersebut telah dibebaskan atau dipecat oleh hakim melalui suatu keputusan pengadilan.[4]
Mengenai harta benda yang dikuasai oleh isteri sejak terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang diberikan izin dan kuasa yang tidak dapat dicabut kembali oleh pihak suami untuk mengurus kepentingannya dengan tidak perlu mendapat bantuan dari pihak suami. Demikian juga dalam hal melakukan segala tindakan pengurusan dan pemilikan tidak terbatas pada hak untuk menjual, mengadaikan atau mengadakan perjanjian dagang. Perjanjian yang memuat syarat-syarat perpisahan meja dan ranjang dalam bentuk akta otentik notaril dilakukan sebelum diajukan tuntutan pisah meja dan ranjang ke hadapan pengadilan. Pengadilan akan mensahkan perjanjian yang memuat syarat-syarat perpisahan meja dan ranjang tersebut yang menjadi ketentuan mengikat bagi pasangan suami-isteri tersebut.[5]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada pembahasan di atas adalah sebagai berikut
1. Pengertian perkawinan adalah menyatunya dua insan yaitu laki laki dan perempuan untuk menjalin hubungan suami istri.
2. Para ahli mendefinisikan pisah ranjang adalah perpisahnya suami dengan istri tapi belum masuk dalam perceraian.
3. Kesimpulan dari pengertian pisah ranjang yang disimpulkan para ahli adalah sebagai berikut”
1. Adanya perpisahan tempat tinggal antara pasangan suami-isteri
2. Adanya perpisahan harta benda perkawinan
3. Masih terikat dalam suatu ikatan perkawinan
DAFTAR PUSTAKA
KUHP Tentang perkawinan BAB I
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm 194.
Zoelfiqri Mahmud, Sistem Hukum Perdata di Indonesia, Mitra Kencana, Jakarta, 1996, hlm. 37.
[1] Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesa. Jakarta : Kencana
[1] KUHP Tentang perkawinan BAB I
[2] 10 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm 194.
[3] Zoelfiqri Mahmud, Sistem Hukum Perdata di Indonesia, Mitra Kencana, Jakarta, 1996, hlm. 37.
[4] Ibid Hal. 39
[5] Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesa. Jakarta :
Kencana