Cerpen Putu Wijaya
Guru
Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam
apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong. "Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!" Taksu mengangguk. "Betul Pak." Kami kaget. "Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?" "Ya." Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak percaya apa yang kami
dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya.
Kami bertambah khawatir, karena Taksu tidak takut bahwa kami tidak setuju. Istri saya menarik nafas dalam-dalam karena kecewa, lalu begitu saja pergi. Saya mulai bicara blak-blakan.
"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"
"Tapi saya mau jadi guru." "Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda
tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikira
lagi dengan tenang dengan otak dingin!" "Sudah saya pikir masak-masak." Saya terkejut. "Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!" Taksu menggeleng. "Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru." "Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!" Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang perjalanan. Yang dijadikan
bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah yang sudah salah didik, sehingga Taksu jadi cupet pikirannya. "Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja sekarang. Masak mau jadi guru.
Itu kan bunuh diri!" Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak disukainya, semua dianggapnya hasil
perbuatan saya. Nasib suami memang rata-rata begitu. Di luar bisa galak melebihi macan, berhadapan dengan istri, hancur.
Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami berdua datang lagi mengunjungi Taksu di tempat kosnya. Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan kosong. Istri saya membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri membawa sebuah lap top baru yang paling canggih, sebagai kejutan.
Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat terpukul. Ketika kami tanyakan bagaimana hasil perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban yang sama.
"Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak," katanya sama sekali tanpa rasa berdosa. Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang mukanya. Ia tak bisa lagi
mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis. "Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang pada guru itu
ya?!" damprat istri saya. "Mentang-mentang mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?"
Taksu tidak menjawab. "Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara tidak pernah memberi gaji
yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang yang lemah hati seperti kamu, masih tetap mau jadi guru. Padahal anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja kamu tidak nyahok?"
Taksu tetap tidak menjawab. "Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang
penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?"
Taksu mengangguk. "Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?" Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya. Akhirnya dia menyembur. "Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya bisa
lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!" Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak mungkin membantah. Di
jalan istri saya berbisik. "Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu, sebelum ia kejeblos terlalu dalam. Ia memang
memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yang menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top tapi mobil! Bapak harus kerja keras beliin dia mobil, supaya mau mengikuti apa nasehat kita!"
Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa artinya bantahan seorang suami. Kalau adik istri saya atau kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah, mungkin akan diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan harap. Apa saja yang saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih kepentingan keluarga saya. Istri memang selalu mengukur suami, dari perasaannya sendiri.
Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi kami. Saya jadi cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua, orang tua yang selalu minta diperhatikan anak.
Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini saya datang dengan kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan mengambil kredit sebuah mobil. Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya hanya kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan bonus janji, kalau memang dia mau mengubah cita-citanya, jangankan mobil mewah, segalanya akan saya serahkan, nanti.
"Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu. "Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak."
Taksu melihat kunci itu dengan dingin. "Hadiah apa, Pak?" Saya tersenyum. "Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau
jadi apa kamu sebenarnya?"
Taksu memandang saya. "Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?" Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali. "Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga, kalau kamu
berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran. Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!"
Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir. Kemudian saya bersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut kunci itu lagi.
"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak."
Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan saya ditaruhnya kembali kunci mobil itu.
"Saya ingin jadi guru. Maaf." Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya tampar. Kebandelannya itu amat
menjengkelkan. Pesawat penerimanya sudah rusak. Untunglah iman saya cukup baik. Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak itu saya genggam dan masukkan ke kantung celana.
"Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak apa."
Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar naik pitam. Saya kira Taksu pasti sudah dicocok hidungnya oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa melakukan itu, kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang saya anggap sudah kurang ajar menjerumuskan anak saya supaya terkiblat pikirannya untuk menjadi guru. Sialan!
Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya membawa kunci mobil mewah. Tapi terlebih dulu saya mengajukan pertanyaan yang sama.
"Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?" "Mau jadi guru." Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas meja. Gelas di atas meja meloncat. Kopi
yang ada di dalamnya muncrat ke muka saya.
"Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata dan pikiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa kamu mau jadi guru, Taksu?!!!"
"Karena saya ingin jadi guru." "Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!" "Saya mau jadi guru." "Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru." Taksu menatap saya. "Apa?" "Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap. Taksu balas memandang saya tajam. "Bapak tidak akan bisa membunuh saya." "Tidak? Kenapa tidak?" "Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang
diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak."
Saya tercengang. "O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?" "Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati." Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup. "Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori pikiran kamu dengan semboyan keblinger
itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?" Taksu memandang kepada saya tajam. "Siapa Taksu?!" Taksu menunjuk. "Bapak sendiri, kan?" Saya terkejut. "Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan ngacau! Kamu tidak bisa hidup
dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu! Waktu itu kamu malas. Kamu tidak mau
sekolah, kamu hanya mau main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus menghormati mereka, sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini. Tahu?"
Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya telanjangi semua persepsinya tentang hidup. Dengan tidak malu-malu lagi, saya seret nama pacarnya si Mina yang mentang-mentang cantik itu, mau menyeret anak saya ke masa depan yang gelap.
"Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap. "Kalau cinta bener buta apa gunanya ada bikini," lanjut saya mengutip iklan yang saya sering papas di jalan. "Kalau kamu menjadi buta, itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru, tidak berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi kamu. Buat apa? Justru kamu harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi guru, sebab mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu semuanya hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab. Kita bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya memanfaatkan materi itu untuk menambah hidup kita lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab? Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini!"
Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah. "Ini satu milyar tahu?!" Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu saya ambil kembali sambil siap-siap hendak
pergi. "Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab kamu baru saja menghina kami! Tinggalkan
perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan dapat 7 kali perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!"
Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan pada istri saya apa yang sudah saya lakukan. Saya kira saya akan dapat pujian. Tetapi ternyata istri saya bengong. Ia tak percaya dengan apa yang saya ceritakan. Dan ketika kesadarannya turun kembali, matanya melotot dan saya dibentak habis-habisan.
"Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!" teriak istri saya kalap. Saya bingung. "Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih anak mobil, kasih saja
jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama anak dagang. Dasar mata duitan!" Saya tambah bingung. "Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"
Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hati saya rontok. Taksu itu anak satu-satunya. Sebelas tahun kami menunggunya dengan cemas. Kami berobat ke sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi buatan dan akhirnya sempat dua kali mengikuti program bayi tabung. Semuanya gagal. Waktu kami pasrah tetapi tidak menyerah, akhirnya istri saya mengandung dan lahirlah Taksu. Anak yang sangat mahal, bagaimana mungkin saya akan biarkan dia kabur?
"Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap. Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu seperti sudah tahu saja,
bahwa ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah kost itu sudah kosong. Dia pergi membawa semua barang-barangnya, yang tinggal hanya secarik kertas kecil dan pesan kecil:
"Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru." Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari buku hariannya itu. Kertas yang nilainya
mungkin hanya seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci BMW yang harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito saya. Saya duduk di dalam kamar itu, mencium bau Taksu yang masih ketinggalan. Pikiran saya kacau. Apakah sudah takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? Mau tak mau saya kembali memaki-maki Mina yang sudah menyesatkan pikiran Taksu. Kembali saya memaki-maki guru yang sudah dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia, padahal dalam kenyataannya banyak sekali guru yang brengsek.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran listrik. Tetapi ketika menoleh, itu bukan Taksu tetapi istri saya yang menyusul karena merasa cemas. Waktu ia mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah dan kemudian menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi sasaran. Untuk pertama kalinya saya berontak. Kalau tidak, istri saya akan seterusnya menjadikan saya bal-balan. Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia tercengang sebab untuk pertama kalinya saya membantah. Akhirnya di bekas kamar anak kami itu, kami bertengkar keras.
Tetapi itu 10 tahun yang lalu. Sekarang saya sudah tua. Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar
dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.
"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi. ***a
Lelaki Muda dan Gadis Kecil Cerpen: FR Susanti Sumber: Jawa Pos, Edisi 03/27/2005 "Tamu Bu," Bibi membungkuk santun, mengarahkan ibu jarinya ke ruang depan. "Siapa?" tanyaku sambil melipat koran, melepas kaca mata. "Tidak tahu Bu, belum pernah ke mari." Aku mengangguk. Bangkit dengan benak penuh tanya, aku yakin tamu itu bukan teman bisnisku, karena
ini hari Minggu. Bukan pula saudara, karena biasanya mereka menelepon lebih dulu memastikan aku ada di rumah. Mungkin saudara jauh atau teman lama yang tidak tahu adat kebiasaanku? Bisa jadi.
Begitu membuka pintu kudapati seorang lelaki muda dan gadis kecil yang tengah bercanda di teras. Lelaki itu berkulit coklat terbakar matahari, berpakaian agak lusuh. Si gadis kecil berkulit lebih terang, berbaju baru dengan bahan kualitas rendah. Ketika gadis itu menoleh padaku, segera kutangkap sinar di wajahnya yang membuatku terkesiap beberapa saat. Sinar wajah itu tak asing bagiku. Meski bentuk hidung dan mata kedua tamu itu sama --yang membuatku bisa segera menyimpulkan bahwa mereka adalah bapak dan anak-- namun kutemui sinar lain di wajah anak itu.
Lelaki muda itu menoleh ke pintu, ke arahku. Seketika dia berdiri, mengangguk sedikit dan mengucap selamat siang. Aku menjawab dengan sedikit goyangan kepala. Sedikit saja. Tawa kecil si gadis kecil pun terhenti. Kupersilakan keduanya masuk, masih dengan jantung yang sedikit berdebar. Siapa mereka? Lelaki lusuh dengan sorot mata tajam. Jelas kemari bukan untuk minta sumbangan.
Setelah kami duduk, dia mulai memperkenalkan dirinya.
"Saya Jaya, Tante. Dan ini Neyla," katanya sambil meletakkan tangannya di bahu gadis kecil itu. Neyla. Nama yang begitu mirip dengan nama anak gadisku dulu, Neyna. "Maaf, mengganggu hari libur Tante," katanya. Suaranya mantap dengan intonasi jelas dan tatap mata
yang begitu percaya dirinya. Aku yakin dia bukan orang sembarangan. Cara dia berbicara dan tatap mata itu, tidak dimiliki oleh
sembarang orang. Untung aku memperlakukannya dengan baik, batinku. Kutatap dia lebih lekat, mencoba menjajaki lebih dalam siapa sebenarnya laki-laki di depanku itu. Dia cukup tampan. Mungkin kemelaratan membuatnya kurang terawat dan tampak lebih tua dari usia sebenarnya.
"Saya ada titipan dari Neyna." Neyna. Dia menyebut nama itu! Seketika menegang otot-ototku. "Maaf baru bisa menyampaikan sekarang," lanjutnya. "Sangat terlambat, tetapi memang baru sekarang
kami sempat ke kota ini." Dia keluarkan dari tasnya yang kumal sebuah bungkusan pipih dan diulurkannya padaku. Kuterima
bungkusan itu dan kubuka salah satu sisinya. Foto kami. Aku, suamiku, Andreas, dan Neyna. Foto yang dibuat ketika dua anak kami masih kecil. Mungkin Neyna baru seusia gadis di depanku itu. Jadi Neyna yang telah mengambil foto ini dari ruang tengah, batinku.
"Neyna minta maaf tidak minta izin mengambilnya dan minta tolong saya mengembalikannya kemari." "Kenapa bukan dia sendiri yang mengembalikannya pada kami?" keramahan yang baru mulai muncul
seketika sirna. Sikapku berubah dingin dan kaku. Ingatan pada Neyna, anak perempuanku itu telah membuka kembali luka masa lalu. Masih jelas dalam
ingatan betapa anak yang kukandung, kulahirkan dan kubesarkan itu tega menampar-nampar wajahku. Aku tak tahu, apa yang telah merasukinya. Neyna yang begitu manis dan menyegarkan hari-hari kami sekeluarga, sedikit demi sedikit mulai berubah begitu masuk kuliah dulu. Awalnya, hanya ikut kegiatan kemahasiswaan saja. Selanjutnya dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman di organisasi mahasiswa. Waktu itu aku mulai menegurnya. Kami sempat berdebat sebelum akhirnya tercapai kesepakatan bahwa aku tidak akan melarangnya berkegiatan selama dia mampu mempertahankan prestasi akademiknya.
Lama-lama dia mulai malas pulang. Rumah hanya dijadikan tempat singgah, tempat menyimpan barang yang diperlukannya kadang-kadang. Komunikasinya denganku menurun drastis. Aku yang dulu berfungsi sebagai teman ngobrol berubah menjadi kasir yang hanya ditemui pada saat butuh duit. Begitu jarangnya dia pulang hingga kadang aku terkaget-kaget ketika bertemu. Anak gadisku yang cantik, bersih, dan wangi tiba-tiba kutemui telah jadi malas merawat diri. Dia datang menemuiku dengan wajah tirus, mata lelah, dan baju yang apek. Bahkan pertemuan selanjutnya tidak kutemui lagi rambut hitamnya yang dulu lebat dan indah dengan poni yang membuatnya seperti boneka Barbee. Rambut itu telah dipangkas pendek karena dia merasa terlalu ribet mengurusnya.
Aku mulai punya alasan untuk marah dan melarangnya berkegiatan, tetapi dia membantah. Bahkan terang-terangan menyatakan sikapnya terhadapku. Mengkritik aku yang katanya otoriter, menjalankan kepemimpinan rumah tangga dan perusahaan sekehendakku, tanpa mau mendengar usulan dan suara ketertindasan orang lain. Siapa tak akan terbakar? Tahu apa dia tentang kehidupan rumah tangga?
palagi tentang perusahaan. Tak sadarkah dia bahwa perusahaanlah yang membuatnya bisa hidup seperti sekarang?
"Perusahaan itu tumpuan hidup kita. Kamu tidak perlu mencampuri urusanku di sana karena kehancuran perusahaan berarti kehancuran hidup kita," kataku pelan namun tajam.
"Ya, memang perusahaan itu yang membuat kita jaya dan kaya-raya. Tetapi ingat Ma, itu bukan hasil kerja Mama. Para buruh itulah tulang punggungnya. Dan selama ini Mama dengan atas nama perusahaan telah memeras tenaga mereka tanpa imbalan yang sepadan," teriak Neyna lantang.
Aku meradang. "Kalau tak suka dengan cara kerjaku, jangan makan dari hasil kerjaku. Pergi, carilah makan sendiri atau tetap tinggal di sini dan kunci mulutmu!"
Di luar dugaan, benar-benar di luar dugaan, Neyna menerima tantanganku. Dia memilih keluar dari rumah. Meninggalkan kehidupan yang tak ada kurangnya ini dan menggantinya dengan kehidupan liar. Kehidupan yang serba tak tentu. Tidur di mana pun dan makan dari siapa pun. Entah seperti apa tepatnya, aku tak bisa membayangkan.
Pernah aku berniat menyusulnya karena tak tega, tetapi sebelum niat itu kesampian dia justru memimpin demo karyawan menuntut perbaikan kesejahteraan. Maka tidak sekadar gagal keinginanku menjemputnya, tetapi lebur juga maafku untuknya. Sejak itu aku tak mau berpikir tentang anak itu lagi. Dia kuanggap sudah hilang atau mati. Dia sudah bukan anakku lagi! Rupanya kepergiannya waktu itu sambil membawa foto yang sekarang ada di tanganku ini.
"Kenapa tak dia kembalikan sendiri foto ini?" tanyaku dengan sisa kemarahan masa lalu. "Dia tak bisa," jawab Jaya. "Kenapa?" tanyaku. "Takut bertemu denganku?" "Bukan," Jaya menggeleng lemah. Berkedip-kedip sebentar. "Dia tak bisa menemui siapa pun lagi,"
lanjutnya pelan sambil menahan napas. "Sakit?" tanyaku masih dengan keangkuhan. Jaya menggeleng. Tanpa menatapku dia berkata-kata, "Neyna sudah…. pergi. Setengah tahun lalu."
Dan laki-laki di hadapanku itu pun mengusap air matanya yang mengambang. Aku menghempaskan diri. Tak sengaja. Memang aku begitu terluka oleh ulahnya dan meniatkan tak
menganggapnya lagi sebagai putriku, tetapi kabar ini begitu mencabik perasaanku. Neyna, putri cantikku itu telah pergi selamanya…
"Maafkan, saya tak bisa menjaganya," laki-laki itu telah mampu menguasai perasaannya. Sikapnya kembali tenang. "Semuanya berjalan begitu cepat. Suatu hari tiba-tiba saya jumpai Neyna muntah darah. Saat itu juga saya bawa dia ke rumah sakit. Beberapa hari di sana, dokter menganjurkan agar dibawa pulang saja. Kanker ganas di paru-parunya telah menjalar ke organ-organ lain dan tim medis sudah tidak bisa berbuat apa-apa," dia berhenti sebentar, menghela napas. " Salah saya, selama ini tak pernah memperhatikan kesehatannya."
Kami saling diam beberapa saat lamanya. Masing-masing larut dengan kenangan dan penyesalan.
"Kau suaminya?" tanyaku kemudian dengan nada yang lebih lunak. Dia menatapku sebentar sebelum mengangguk ragu. "Maaf, saya tak minta izin Tante lebih dulu." "Jadi ini anak Neyna," kataku lirih, hampir pada diri sendiri. "Kalau boleh, biar aku yang mengasuhnya,"
kataku tiba-tiba. Jaya tersenyum. "Makasih Tante, dia adalah napas saya. Jadi tak mungkin saya berpisah dengannya.
Meskipun saya tak mungkin memberi kemewahan padanya." Aku cukup tertampar dengan jawabannya. Tapi kutahan tak memberi reaksi apa pun pada jawaban itu. Tak lama kemudian laki-laki itu minta diri. Kuantar sampai pagar. Sambil kubuka pintu, sempat kutanya,
di mana mereka tinggal. "Kami di lereng Gunung Geni. Saya bekerja bersama penduduk yang terancam kehilangan kehidupan
mereka, karena rencana pembangunan taman nasional," jawab Jaya. Lalu mereka pun berlalu. Sebelum angkot yang mereka tumpangi benar-benar berlalu, masih sempat
kulihat lambaian tangan mungil anak Jaya padaku yang kubalas dengan lambaian pula. Aku masih berdiri di pagar sekalipun kedua tamuku telah lenyap bersama angkot yang membawa
mereka. Tiba-tiba aku teringat, sebentar lagi suamiku pulang. Dan dia tak boleh tahu apa yang terjadi. Jadi segera kututup pagar dan melangkah masuk. Membasuh muka lalu kembali duduk di depan tivi, sambil membuka-buka halaman koran Minggu. ***
Mimpi tentang Rumah Cerpen: Mustafa Ismail Sumber: Jawa Pos, Edisi 03/20/2005 KAMI punya rumah di kampung. Tidak besar, tapi cukup menyenangkan. Rumah itu semi permanen.
Ayah membangun rumah itu ketika aku kecil. Ibuku yang menimbun bagian dalam rumah itu, dengan tanah merah, sebelum diberi lantai dari semen campur pasir. Tanah itu diambil dari kebun kosong persis di depan bakal rumah kami, yang juga milik salah seorang famili ibu.
Waktu itu ibu tengah hamil adikku. Tetapi ibu tidak peduli. Ia memaksa diri mengangkut tanah untuk menimbun, karena bersemangat untuk punya rumah. Itu dilakukan ibu setiap pagi sampai matahari berada di atas kepala. Aku, yang waktu itu masih kecil, sepulang sekolah ikut membantu ibu. Biasanya aku mengangkut tanah dengan pengki dan membawa tertatih-tatih. Kalau sudah siang, ibu berhenti dan pulang untuk memasak. Aku juga ikut pulang karena lepas siang aku bersiap- siap untuk mengaji di meunasah.
*** AYAH dan ibu membangun rumah itu boleh dikata dengan semangat. Ayah seorang pegawai kecil di
sebuah sekolah dan ibu membantu menambah pendapatan keluarga dengan menanam sayur-sayuran di halaman rumah tempat kami tinggal yang memang cukup luas.
Kalau musim tanam kacang tanah atau semangka, ibu juga ikut serta bertani dengan menyewa sawah orang lain dengan sistem bagi hasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar