Senin, 21 Maret 2011

mustahil kristen bisa menjawab

Mana pengakuan Yesus di dalam Alkitab bahwa dia beragama Kristen?


Semua pengikut Yesus pasti mengakui bahwa mereka beragama Kristen. Tetapi apakah ada di antara mereka bisa membe­rikan bukti atau menunjukkan ayat-ayat yang tertulis di dalam Alkitab bahwa Yesus beragama Kristen?
Pertanyaan seperti itu tampak sepele atau main-main, padahal kami benar-benar serius dan akan menepati janji bila ada diantara umat Kristiani atau dari agama manapun yang bisa memberikan bukti berupa ayat-ayatnya yang tertulis dalam Alkitab tentang pengakuan Yesus bahwa dia beragama Kristen.
Jika Yesus ternyata bukan beragama Kristen, lalu apa nama agama Yesus yang sebenarnya? Siapa saja yang bisa menun­jukkan bukti atau menunjukkan ayat-ayat yang benar-benar tertulis di dalam Alkitab (Bible), pengakuan Yesus bahwa dia beragama Kristen, maka kami sediakan hadiah sebesar Rp. 10.000.000.- (sepuluh juta) tiap pertanyaan.
Banvak umat Kristiani tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Yesus bukan beragama Kristen dan yang menamakan agama itu `Kristen' bukan Yesus, tapi Barnabas dan Paulus (Saulus) di Antiokhia. Perhatikan ayat-ayat Alkitab dibawah ini :
"Setelah Barnabas datang dan melihat kasih karunia Allah, bersukacitalah ia. Ia menasihati mereka, supaya mereka semua tetap setia kepada Tuhan karena Barnabas adalah orang baik, penuh dengan  Roh Kudus dan iman. Sejumlah orang dibawa kepada Tuhan. Lalu pergilah Barnabas ke Tarsus untuk mencari Sauius; dan setelah bertemu dengan dia, ia membawanya ke Antiokhia. Mereka tinggal bersama-sama dengan jemaat itu satu tahun lamanya, sambil mengajar banyak orang.

Di Antiokhia-lah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen.' (Kis 11:23-26)

Ayat diatas membuktikan bahwa yang menamakan agama itu "Kristen' bukan Yesus. tetapi Barnabas dan Paulus.
Seumur hidupnya Yesus tidak pernah tahu kalau agama yang dibawanya dinamai Kristen, sebab nama "Kristen' itu baru muncul jauh setelah Yesus mati. Timbul pertanyaan; kalau begitu kapan Yesus mati dan kapan agama yang dibawanva dinama Kfisten? Menurut data yang kami baca dalam beberapa buku yang ditulis oleh kalangan Kristen sendiri, diantara-nya dalam buku "Religions on File" Yesus lahir sekitar tahun 4 SM (Sebelum Masehi) dan wafat sekitar tahun 29 M (Masehi). Semen­tara Paulus dan Barnabas memberi nama "Kristen" terhadap agama yang mereka bentuk, yaitu sekitar tahun 42 M. Ini berarti sekitar 13 tahun (42-29=13) setelah Yesus mati, baru muncul agama Kristen bentukan Barnabas dan Paulus.
Didalam kitab suci agama Islam yaitu A1 Qur`an, tidak dijumpai satu pun kata "Kristen", yang ada kata "Nashara" karena Yesus berasal dari kota Nazareth. Dan pengikut ajaran Yesus disebut "Nashrani” bukan Kristen. Bahkan didalam Alkitab itu sendiri, kata "Kristen' hanya disebutkan paling banyak 6 (enam) kali, yaitu pada Kis 11:26, Kis 26:28, Rm 16:7, 1 Kor 9:5, 2 Kor 12:2 dan 1 Ptr 4:16)

Pernahkah Yesus Mengatakan:
"Akulah Allah Tuhanmu, maka sembahlah Aku saja"


Pertanyaan yang ketiga ini sangat menantang bagi semua pihak, terutam: bagi umat Kristiani karena hampir semua umat Kristiani, rasanya tidak ada yang tidak menyembah kepada Yesus sebagai Tuhat dan juruselamat mereka. Mulai dari anak kecil, dewasa dan orang tua, mereka semu diajarkan bahwa Yesus adalah Tuhan ata Allah itu sendiri yang harus disembal Padahal setelah kami pelajari, kaji da dalami, ternyata tidak ada satu dalilpun di dalam Alkitab (Bible) itu sendiri diman Yesus pernah bersabda bahwa "Akulah Allah Tuhanmu, maka sembahlah aku saja." Tidak ada!! Yang ada justru Yesus bersabda, "Sembahlah Allah Tuhanmu dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti. °

Ucapan atau sabda Yesus tersebut men berikan suatu pengertian kepada kita bahwa Yesus itu bukan Tuhan atau Allah yang harus disembah, karena dia hanyalah seorang Nabi atau Rasul.

Untuk lebih jelasnya marilah kita simak kisah didalam Alkitab yaitu pada Injil Matius 4:8-10, yaitu ketika Yesus dicoba oleh Iblis sebagai berikut :

"Dan Iblis membawanya pula ke atas gunung yang sangat tinggi dan memper­lihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya, dan berkata kepada­Nya: "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku. " Maka berkatalah Yesus kepadanya: "Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!" (Matius 4:8-10)

Ayat-ayat tersebut adalah seputar kisah tentang percobaan di padang gurun ketika Yesus akan dicobai Iblis. Sebelumnya Iblis mencoba Yesus dengan menyuruh membuat batu-batu jadi roti, namun tidak berhasil, kemudian percobaan kedua Iblis menyuruh Yesus jatuhkan dirinya dari atas bubungan Bait Allah, namun tidak berhasil. Terakhir Iblis membawa Yesus kepuncak gunung yang tinggi dan menawarkan untuk diberikan kepada Yesus semua kerajaan dunia ini dan kemegahannya, asalkan Yesus mau sujud menyembah kepadanya.

Pada percobaan yang ketiga inilah Yesus menghardik Iblis tersebut seraya berkata, "Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!''

Dari ucapan Yesus tersebut dapat kita pahami:
 
1. Iblis tahu bahwa Yesus mengajarkan Tauhid, yaitu menyembah hanya kepada Allah saja (laa ilaaha ilallaahu).
2. Terhadap Iblis saja Yesus perintahkan bahwa menyembah dan berbakti itu hanyalah kepada Allah saja, bukan lainnya, bukan juga pada dirinya.
3. Iblis tahu bahwa Yesus itu bukan Tuhan, sebab jika Yesus itu Tuhan, tentu kata­kata Yesus sebagai berikut: "Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah aku Tuhan, Allahmu, dan hanya kepadaku sajalah engkau berbakti!"

Yesus sendiri yang memberikan kesak­sian bahwa menyembah dan berbakti itu, hanyalah kepada Allah, bukan kepada dirinya, mengapa justru Yesus itu yang dijadikan sesembahan oleh saudara­saudara kita umat Kristiani?
Dalam kitab suci Al Qur`an Nabi Isa as (Yesus) juga mengajarkan Tauhid, yaitu menyembah itu hanya kepada Allah saja, bukan kepada yang lainnya, bukan juga kepada dirinya. Perhatikan ucapan Nabi Isa as (Yesus) dalam Al Qur`an:


Innallaaha huwa rabbii wa rabbukumfa`buduuhu haadzaa shiraathum mustaqiim

"Sesungguhnya Allah Dialah Tuhanku dan Tuhan kamu, maka sembahlah Dia, inilah jalan yang lurus. "

Bahkan dalam kitab Taurat Musa Ulangan 6:4, dikatakan bahwa Tuhan itu Esa:

"Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!"

Berdasarkan Taurat, Injil dan Al Qur`an, Tuhan yang disembah itu adalah Tuhan yang Esa, bukan Yesus yang disembah. Bahkan Yesus sendiri menyuruh menyem­bah hanya kepada Allah yang dia sembah.
Oleh sebab itu untuk pertanyaan yang ketiga ini, disediakan pula hadiah uang. tunai sebesar Rp. 10.000.000.- bila menemukan ayat dalam Alkitab (Bible), dimana Yesus mengatakan kepada para pengikutnya, "Akulah Allah, Tuhanmu, maka sembahlah aku saja". Kami yakin siapapun tidak akan menemukannya. Tetapi jika menemukannya, silahkan hubungi kami untuk mengambil hadiah Rp 10.000.000.
Seandainya tidak menemukannya berarti Yesus tidak pernah mengajarkan kepada umatnya bahwa dia adalah Tuhan atau Allah itu sendiri, yang harus disembah.
Menyamakan Yesus dengan Tuhan atau Allah, adalah suatu perbuatan dosa, sebab baik Yesus maupun Allah, tidak mengajarkan seperti itu. Bahkan didalam Alkitab itu sendiri, Allah melarang siapa saja yang, menyamakan Dia dengan yang lainnya Perhatikan ayat Alkitab sebagai berikut:
 
"Kepada siapakah kamu hendak menyamakan Aku, hendak membandingkan dan mengumpamakan Aku, sehingga kami sama? (Yesaya 46: 5)

Buktikan siapa yang hapal Alkitab walau satu surat saja di luar kepala!

Pernah terjadi ketika dalam suatu acara Debat Islam & Kristen di salah satu gedung di Jakarta, waktu memasuki acara tanya jawab, seorang ahwat mengajukan satu pertanyaan kepada sang Pendeta yang bertitel Doctor Teologi sebagai berikut :

AHWAT: "Pak Pendeta, di dunia ini ada banyak orang yang hapal Al Qur'an diluar kepala. Apakah ada orang yang hapal Alkitab diluar kepala?"

PENDETA: "Di dunia ini tidak mungkin ada yang hapal Alkitab di luar kepala. Sejenius apa pun orarig itu, tidak mungkin dia bisa hapal Alkitab di luar kepala, sebab Alkitab itu adalah buku yang sangat tebal, jadi sulit untuk dihapal. Berbeda dengan Al Qur'an. Al Qur'an adalah buku yang sangat tipis, makanya mudah dihapal."

Jawaban pendeta tersebut terlalu singkat, tidak rasional dan sangat merendahkan bahkan melecehkan AI Qur’an.

Dengan jawaban pak Pendeta hanya seperti itu, karena penasaran, kami maju ke depan, merebut mikropone yang ada difangan ahwat tersebut, dan melanjutkan pertanyaan ahwat tadi. (maaf disini kami pakai nama pengganti HILS)

HILS :        "Maaf pak Pendeta, tadi bapak katakan bahwa Al Qur an adalah buku yang sangat tipis, makanya gampang dihapal diluar kepala. Tapi pak Pendeta, bahwa setipis-tipisnya Al Qur'an, ada sekitar 500 s/d 600 halaman, jadi cukup banyak juga lho!! Tapi kenyataannya di dunia ini ada jutaan orang yang hapal Al Qur'an diluar kepala. Bahkan anak kecil sekalipun banyak yang hapal diluar kepala, walaupun artinya belum dipahami. Sekarang saya bertanya kepada pak Pendeta, Alkitab itu terdiri dari 66 kitab bukan? Jika pak Pendeta hapal satu surat saja diluar kepala (1/66 saja), semua yang hadir disini jadi saksi, saya akan kembali masuk agama Kristen lagi! Ayo silahkan pak Pendeta!"

Mendengar tantangan saya seperti itu, situasi jadi tegang, mungkin audiens yang muslim khawatir, jangan-jangan ada salah satu Pendeta yang benar-benar hapal salah satu surat saja di dalam Alkitab tersebut. Seandainya ada yang hapal, berarti saya harus tepati janjiku yaitu harus masuk Kristen kembali. Karena para Pendetanya diam, saya lemparkan kepada jemat atau audiens Kristen yang dibelakang.

HILS :  "Ayo kalian yang dibelakang, jika ada diantara kalian yang hapal satu surat saja dari Alkitab ini diluar kepala, saat ini semua jadi saksi, saya akan kembali masuk ke agama Kristen lagi, silahkan!!"

Masih dalam situasi tegang, dan memang saya tahu persis tidak akan mungkin ada yang hapal walaupun satu surat saja diluar kepala, tantangan tersebut saya robah dan turunkan lagi. Saat itu ada beberapa Pendeta yang hadir sebagai pembicara maupun sebagai moderator. Mereka itu usianya bervariasi, ada yang sekitar 40, 50 dan 60an tahun. Pada saat yang sangat menegangkan, saya turunkan tantangan saya ke titik yang terendah, dimana semua audiens yang hadir, baik pihak Kristen maupun Islam semakin tegang dan mungkin sport jantung.

HILS :  "Maaf pak Pendeta, umur andakan sekitar 40, 50 tahun dan 60an tahun bukan? Jika ada diantara pak Pendeta yang hapal SATU LEMBAR saja BOLAK BALIK ayat Alkitab ini, asalkan PAS TITIK KOMANYA, saat ini semua jadi saksinya, aku kembali masuk agama Kristen lagi!! Silahkan pak!"

Ketegangan yang pertama belum pulih, dengan mendengar tantangan saya seperti itu, situasi semakin tegang, terutama dipihak teman-teman yang beragama Islam. Mungkin mereka menganggap saya ini gila, over acting, terlalu berani, masak menantang para Pendeta yang hampir rata­rata bertitel Doctor hanya hapalan satu lembar ayat Alkitab saja. Suasana saat itu sangat hening, tidak ada yang angkat suara, mungkin cemas, jangan-jangan ada yang benar-benar hapal ayat Alkitab satu lembar saja. Karena para pendeta diam seribu bahasa, akhirnya saya lemparkan lagi kepada jemaat atau audiens yang beragama Kristen.

HILS :  "Ayo siapa diantara kalian yang hapal satu lembar saja ayat Alkitab ini, bolak balik asal pas titik komanya, saat ini saya kembali masuk Kristen. Ayo silahkan maju kedepan!"

Ternyata tidak ada satu pun yang maju kedepan dari sekian banyak Pendeta maupun audiens yang beragama Kristen. Akhirnya salah seorang Pendeta angkat bicara sebagai berikut:

PENDETA: "Pak Insan, terus terang saja, kami dari umat Kristiani memang tidak terbiasa menghapal. Yang penting bagi kami mengamalkannya."

HILS :        "Alkitab ini kan bahasa Indone­sia, dibaca langsung dimengerti! Masak puluhan tahun beragama Kristen dan sudah jadi Pendeta, selembar pun tidak terhapal? Kenapa? Jawabnya karena Alkitab ini tidak murni wahyu Allah, maka­nya sulit dihapal karena tidak mengandung mukjizat! Beda dengan Al Qur’an. Di dunia ini ada jutaan orang hapal diluar kepala, bahkan anak kecilpun banyak yang hapal diluar kepala seluruh isi Al Qur'an yang ratusan halaman. Padahal bahasa bukan bahasa kita Indonesia. Tapi kenapa mudah dihapal? Karena Al Qur'an ini benar-benar wahyu Allah, jadi mengandung mukjizat Allah, sehingga dimudahkan untuk dihapal. Soal meng-amalkannya, kami umat Islam juga berusaha mengamalkan ajaran Al Qur’an. Saya yakin jika bapak-bapak benar­benar mengamalkan isi kandungan Alkitab, maka jalan satu-satunya harus masuk Islam. Bukti lain bahwa Al Qur'an adalah wahyu Allah, seandainya dari Arab Saudi diadakan pekan Tilawatil Qur'an, kemudian seluruh dunia mengakses siaran tersebut, kami umat islam bisa mengikutinya, bahkan bisa menilai apakah bacaannya benar atau salah. Dan ketika mengikuti siaran acara tersebut, tidak perlu harus mencari kitab Al Qur'an cetakan tahun 2000 atau 2005. Sembarang Al Qur'an tahun berapa saja diambil, pasti sama. Beda dengan Alkitab. Seandainya ada acara pekan tilawatil Injil disiarkan langsung dari Amerika, kemudian seluruh dunia mengaksesnya, kitab yang mana yang jadi rujukan untuk di ikuti dan dinilai benar tidaknya? Sama-sama bahasa Inggris saja beda versi, jadi sangat mustahil jika ada umat Kristiani bisa melakukan pekan tilawatil Injil, karena satu sama lainnya berbeda."

Alhamdulillah dari sanggahan kami seperti itu mendapat sambutan hangat dan aplaus dari audiens yang beragama Islam. Oleh sebab itu kami serius menyediakan hadiah uang tunai sebesar Rp. 10.000.000.­(sepuluh juta rupiah) bagi siapa saja umat Kristiani yang bisa hapal ayat-ayat Alkitab walau satu lembar saja bolak balik atas pas titik komanya. Bagi yang ingin mencobanya, kami persilahkan hubungi kami bila ada yang bisa menghapalnya diluar kepala, tanpa harus membuat satupun kesalahan.





vedeo kekerasanterhadap jamaah ahmadiyah


Jumat, 11 Maret 2011

Devenisi CINTA


cinta itu di salah gunakan oleh para remaja yang sedang merasakan rasa cinta. Mereka mengartikan cinta itu adalah anugrah yang maha kuasa, alasan mereka adalah dengan adanya rasa cinta mereka bisa mengerti cinta kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan dengan cinta pula mereka beranggapan bisa hidup dengan tenang di tengah-tengah masyarakat. Karena dengan adanya rasa cinta maka perilaku seseorang akan menjadi lebih sopan dan lemah lembut. Tapi kenyataannya apakah semua itu di lakukan sama para remaja sekarang? Jawabannya tidak! Realita menjawab, bahwa remaja sekarang mengalokasikan cinta atau mendevenisikan cinta itu sebagai bentuk dari pacaran. Yang mana pacaran itu identik dengan hal-hal yang negativ, contoh, pertama-tama hanya berkenalan saja tapi lama kelamaan akan bertambah jadi sering ketemuan bahkan saling berpegang tangan saat berpergian. Dalam istilah jawa pacar itu adalah pitek artinya benda cair dalam bentuk cet yang untuk menghiasi kuku. Jadi pacaran ada tiga istilah yang pertama berpacaran adalah saling mewarnai satu sama lain atau istilahnya saling menyemangati, kedua berpacaran adalah bertujuan untuk meningkatkan intelektual dan saling berdiskusi dengan orang yang di cintainya. Kedua inilah adalah pacaran yang tidak di larang agama islam karena di poin pertam dan kedua itu tidak ada perilaku yang menunjukan perilaku yang negativ. Yang ketiga adalah berpacaran untuk melumpahakan segala hawa nafsunya,  seperti jalan berduaan dengan bergandengan tangan dan sejenisnya.   Jadi kesimpulannya adalah itu semua tergantung pada kita semua, apakah kita memanfaatkan atau mempermainkan rasa cinta dengan baik dengan bimbingan ajaran syariat atau tidak.”

kretivitas adalah jurus masa depan

Pada zaman globalisasi sekarang ini kreativitas sangatlah di butuhkan bagi setiap individu. Kalau di era globalisasi sekarang ini, kita  masih saja mengandalkan ijazah aliyah/SMA atau S-I  maka kita  belum termasuk orang yang mempunyai mimpi yang tinggi dan cita-cita yang tinggi pula.  Selain kita mengandalkan ija...sah dari sekolah aliyah/SMA kita  harus mempunyai kreativitas. Kreatifitas disini dimaksud adalah Penemuan hal yang baru,  adalah termasuk kreativitas. Contoh kreativitas dalam bidang perdagangan, banyak para pedagang yang sukses karena kekreativitas yang di milikinya, atau suatu penemuan yang baru. terlebih-lebih dengan pedagang bakso yang menggunakan penemuan mereka sendiri yaitu dari segi penamaan bakso tersebut. Yang asing bagi kami  semua. Ada yang menamakan bakso tubruk, bakso kocak, bakso pecut dan banyak lagi pedagang bakso yang sukses karena kekreativitas mereka sendiri.

Mungkin kebanyakan orang-orang berefikir begini “yang penting aku dapat pekerjaan dan kebutuhanku terpenuhi”, pemikiran ini tidak asing lagi bagi kalangan mahasiswa sekarang ini. Memang, tidak apa-apa kalau kita  berfikiran seperti itu dan emang, seharusnya kita setelah lulus pasti terdesak oleh kebutuhan sekunder maupun primer yang semakin tahun semakin mahal.  Tentu saja dengan terdesaknya oleh kebutuhan  kita. Dan setelah lulus dari aliyah/SMA maupun S-I maka seseorang mau tidak mau harus sudah mempunyai pekerjaan. Coba kita  berfikir lebih dalam lagi, pada setiap tahun pasti ada mahasiswa baru yang masuk di perguruan tinggi negeri/swasta. Apakah tidak kemungkinan kalau peluang untuk dapat pekerjaan akan menjadi sedikit. Karena banyak saingannya, yang mana sainganya ada yang dari kota maupun dari kalangan orang terpelajar. tidak salah kalau GUS DUR pernah bilang seperti ini, dunia sekarang ini itu semuanya di kalahkan dengan uang. Semuanya dengan uang, apapun memakai uang dan semuanya serba uang. Kemudian, kalau kita  berfikir seperti itu maka kehidupan di dunia ini di ibaratkan seperti turnamen atau kompetisi untuk menjadi orang yang berhasil atau sukses.
Maka dari itu, kalau hidup  ini di ibaratkan seperti turnament atau kompetisi untuk menjadi orang yang berhasil, maka kita  harus mempunyai mimpi yang setinggi langit dan kita  harus lebih semangat seperti para pejuang 45. Yang semangatnya telah membakar habis rasa kemalesan. Selain itu, kita  harus mempunyai mimpi yang tinggi maka kita  harus mempunyai sebuah kreatifitas. Untuk menjaga-jaga kalau kita  telah gagal dalam turnamen atau kompetisi itu.
 Kita  boleh merencanakan kehidupan kita  di masa depan dengan menjadi orang yang berhasil atau sukses. tapi ingat, yang menentukan hal sesuatu buat kita  di masa depan hanya lah Allah SWT.
Jadi kreatifitas adalah jurus rahasia untuk kehidupan kita  di masa depan. Apa sih kreatifitas itu?
Kreatifitas adalah kemampuan untuk mencipta/berkreasi. Kreatifitas adalah jantung dari inovasi. Tanpa kreatifitas tidak akan ada inovasi. Sebaliknya, semakin tinggi kreatifitas, jalan ke arah inovasi semakin lebar pula.
Bagaimana caranya agar menjadi orang yang kreatif?
1.      Selalu ingin tahu
2.      Terbuka terhadap yang baru
3.      Berani mengambil resiko
4.      Semangat untuk sukses
5.      Berani di anggap gila
Merasa diri kita  tidak kreatif, bisa-bisa mengakibatkan seseorang bener-bener mejadi tidak kreatif.
MIMPI + KEYAKINAN = SUKSES
Mulailah dari mimpi
Pola pikir dan keyakinan adalah kekuatan dibelakang sistem sukses yg ada di dalam diri kita . Apapun yg kita  bayangkan dan kita  yakini terus menerus dalam benak kita , pada akhirnya akan terwujud jadi kenyataan. Amin


Yakinkan diri kita , be optimistic
Kendalikan Kata-kata yang keluar dari mulut kita  dengan Kata-Kata yang Positif dan Baik.
Kata-kata negatif yang sering muncul di pikiran kita :
BILA AKU BUKAN KETURUNAN KIYAI MANA MUNGKIN AKU BISA MENJADI ORANG SUKSES
BILA TIDAK PUNYA GELAR SARJANA, JANGAN HARAP BISA JADI MANAGER
KALAO BUKAN KETURUNAN PENGUSAHA MANA BISA JADI PENGUSAHA
MANA MUNGKIN JADI PENGUSAHA KALO GAK PUNYA MODAL
BILA USULAN SAYA DITOLAK 3X, MAKA SAYA TIDAK PERLU USUL LAGI
AKU INI KAN SARJANA, KOK DISURUH JADI KULI SIH, OGAH AH

Jauhkan dan buanglah jauh-jauh pikiran-pikiran negativ itu dari pikiran anda. Berfikirlah yang positif kalau kita  itu BISA!!!, “Never Try Never know” semuanya pasti melalui proses. Kita  melihat orang sukses itu janganlah dilihat dari kesuksesannya tapi kita  lihat prosesnya dia untuk menjadi orang yang sukses itu seperti apa. Memang sih, terkadang kita  semangat dan terkadang juga kita  males tidak semangat lagi.  Terus resep apa yang bisa membuat kita  itu bisa menjadi semangat terus dan berfikiran yang besar. Resepnya adalah selalu meluangkan waktu sehari-hari kita  dengan melakukan hal yang positif, seperti tulis menulis, membaca buku yang berbau motifasi, dan sempatkan anda untuk diam sendiri dan merenungkan apa yang harus kita  lakukan besoknya lagi. Selagi-lagi saya ingatkan kepada anda bahwa selain kita  berusaha dengan kerja keras kita  harus berusaha melalui berdo’a kepada Allah. Karena yang menguasai kehidupan ini hanyalah Allah.
Berusaha tanpa disertai Do’a akan menjadi usaha yang tidak barakoh, dan kalau kita  hanya berdo’a saja tanpadisertai  berusaha maka pencapain untuk menjadi sukses akan tersendat-sendat dan sulit untuk mencapai tujuan yang anda cita-citakan.
 Orang-orang besar yg sukses tidak pernah berhenti berusaha hanya karena kesangsian dan ejekan orang banyak atas cita2 besarnya (Andrie Wongso)
Terkadang kita  malu ketika seseorang menanyakan pekerjaan yang kita  miliki, kalau pekerjaan itu tidak sebanding dengan pekerjaan orang yang menanyakan itu tadi. Bolehlah kita  malu asalkan malu itu membuahkan semangat yang baru untuk lebih maju ke depannya nanti. Toh pekerjaan itu kn bukan hak paten kita  kn. Semuanya bisa berubah asalkan kita  sendiri mau untuk berubah. Maka dari itu kita  harus mempunyai sifat yang kompetensi. Apa sih kompetensi itu.

KOMPETENSI
Kompetensi adalah sifat dasar seseorang agar bisa sukses, yg ditunjukan oleh perilaku dan pola pikir secara konsisten.
Kompetensi individu:
Kompetensi individu adalah sebagai berikut:
1.    Orientasi terhadap prestasi yg akan dicapai
2.      Kemampuan mempengaruhi orang lain
3.      Kemampuan dalam menganalisis
4.      Kemampuan dalam membuat konsep2
5.      Inisiatif
6.      Percaya diri
7.      Kemampuan untuk berkomunikasi
8.      Tanggap terhadap tugas yg diberikan
9.      Kemampuan mencari informasi
10.  Kemampuan bekerjasama dgn kelompoknya
11.  Keahlian
12.  Orientasi terhadap pelayanan customer
13.  Kemauan untuk berkembang dan
14.  Kemauan untuk menolong orang lain
Banyak orang yang begitu takut kalau kenikmatan yang digenggam, kesenangan yang diraih, musnah sewaktu-waktu. Termasuk kita . Kita  takut miskin bila bersedekah. Kita  takut “jatuh kelas” jika bergaul dengan masyarakat bawah, kita  tidak tenang, karena harus terus selalu berpacu “menjaga kondisi” kita  takut nilai kita  jelek, kita  takut kalau masa depan kita  tidak bahagiah, kita  takut akan sesuatu yang baru, kita  takut miskin,dan  takut tidak populer. Kita  menjadi khawatir, bila kita  tidak lagi memiliki kekayaan dan bila tidak menyandang bintang, maka hidup kita  akan terlunta-lunta, kesepian akan mendera. Segala yang kita  miliki seolah adalah segalanya bagi kehidupan kita .
            Inilah yang kerap membuat hati selalu berteriak, selalu berombak, dan stres! Karena jelas, energi manusia tidak akan snaggup mengimbangi kehidupan yang serba materialis. Kehidupan menjadi hampa, karena tujuan hidup yang demikian memang hampa. Jasad kasar terus menerus di manja. Diberi makan, sementara ruhani tidak tidak pernah diperthatikan. Ruh menjadi kering, ruh menjadi berontak, dan ia akhirnya akan “menangis” kelelahan. Kesedihanlah yang ada bila menyaksikan badan sudah tidak mampu menikmati kekayaan yang sudah tergenggam kesuksesan sudah teraih, tapi kebahagiaan tak kunjung datang ketenangan tak kunjung menghampiri hati.
Marilah kawan, mulai sekarang, mulai detik ini, mulai menit ini juga dan  mulai ketika anda selesai membaca bacaan ini, mari kita  tanam di fikiran kita , untuk bermimpi yang lebih tinggi dan selalu berfikiran yang positif. Dan Kita  buang jauh-jauh pikiran-pikiran yang negatif pikiran yang takut dengan kegagalan.

Mari kita  berdoa kepada Allah, supaya kita  semua di beri kesabaran dan selalu  semangat.
Ya Rabb, Engkau Maha besar, kekuasaan-Mu pasti leih besar  dari pada masalah kami  . Engkau mahabesar, ampunan dan Rahmat-Mu pasti lebih besar dari pada dosa kami  . Dan Engkau mahabesar, karena kebesaran-Mu laa layak bagi kami  untuk tidak BERPUTUS ASA.
Ya Rabb….Engkau mahatahu ya Rabb….kami   yang berbuat dosa, selayaknya memang kami   yang menanggu segala akibatnya. Tapi kami   juga tahu, bahwa samudera ampunan-Mu begitu luas. Aku yakin itu ya Rabb.. sehingga mampu membebaskan kami   dari segala akibat. Lantaran inilah harapan kami   muncul, maka jangan pupuskan harapan kami   ya rabbb.
Ya Rabb….di tengah lautan permasalahan kehidupan yang kami  hadapi ini, baik yang hamba buat sendiri, ataupun yang muncul akibat kebodohan dan kelalaian kami, kami tidak pernah ingin berhenti berharap dan bermimpi, bahwa engkau tidak akan menutup mata terhadap kesalahan-kesalahan  kami, dan segera membentangkan lindungan dan pertolongan-Mu di atas kehidupan kam.
Ya Rabb… di tengah keterbatasan kami menutupi kesalahan-kesalahan kami dan berjuang untuk hidup dan kehidupan kam,I, hamba tidak pernah ingin berhenti berharap dan bermimpi, bahwa Engkau tidak akan lari dari kehidupan kami, betapapun kami adanya.
Semoga harapan-harapan  kami semua ini tidak menjadi harapan kosong atau yang sia-sia di mata-Mu, engkaulah ujung segala harapan bagi kami semua Engkau bukan manusia yang punya kesabaran terbatas, karena Engkau adalah Tuhan semesta yang tidak pernah mempunyai batas. Amin, Amin ya Robbal Alamin.


By

Achmad Muzakki

MENGENAL 5 MADZHAB

1. Mazhab Hanafi (Abu Hanifah An-nu’man bin tsabit ) keturunan persi
Lahir di Kufah pada tahun 80 H wafat di Baghdad 150 H. guru fikih beliau Syaikh Hammad bin Abi Sulaiman 120 H 01 Dari ulana inilah fikih berkembang yang berdasarkan qiyas. Kitab yang terkenal adalah kitab al-musnad.
Istimbath beliau sebagai berikut:
a. Kitabullah (Al-Qur’an)
b. Sunnah Rasulullah SAW. Dan Atsar-atsar yang shohih yang telah mansyhur di antara para ulama.
c. Fatwa-Fatwa Para sahabat
d. Qiyas
e. Istihsan
f. Adat dan Urf MAsyarakat

2. Mazhab Maliki (Abu Abdullah MAlik bin Anas al-Ashbahi) seorang yang terkenal di kota madinah, lahir tahun 93 H wafat tahun 179. guru beliau Rabi’ah ar-ra’yi, Az-Zuhri. Kitab yang pernah ditulis beliau adalah kitab Al-Muwaha’ menurut As-Suyithi penamaan kitab beliau berdasarkan karena beliau memaparkan hadist ke 70 ahli fikih di madinah, fikih yang diajarkan adalah berdasarkan Hadist.
a. Kitabullah (Al-Qur’an)
b. Sunnah Rasulullah yang di pandnag beliau shohih
c. Amal ulama madinah (ijma’ ahli madinah)
d. Qiyas
e. Maslahatul Mursalah atau istishab

3. Mazhab Syafi’I (Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Syafi’i) beliau lahiir di Ghazzah tinggal di suku Hudzail makkah pada tahun 150 H dan meninggal di Mesir pada tahun 204 . beliau seorang imam keliling yang suka mengadakan perlawatan2 pada mulanya beliau menjadi pengikut mazhab maliki. Akan tetapi perlawatan2 yang beliau lakukan serta pengalamannya nampak memberi pengaruh yang kuat kepada beliau untuk mengadakan suatu mazhab yang khusus. Dan lahir pula ulama mujtahid yaitu Achmad ibn Hambal yang pernah belajar kepada imam Syafi’I ketika tinggal di Baghdad. (Baghdad kemudian menjadi tempat lahirnya mazhab hambali) kitab beliau Ar-Risalah, Al-um, Al-Mabsuth.
a. Kitabullah (Al-Qur’an)
b. Sunnatur rasul.
c. Ijma’, ijma; menurut be;iau adalah “tidak diketahui ada perselisihan pada hukum yang dimaksud” Beliau berpendapat bahwa meyakini telah terjadi persesuaian, paham segala ulama tidak mungkin
d. Qiyas, beliau menolak dasar istihsan dan istihsan
e. istidlal
4. Mazhab Hambali (Abu Abdullah Ahmad bin Hambal as-Syaibani) lahir di Baghdad tahun 163 H.beliau wafat di Baghdad pada tahun 241 H. beliau sama halnya Imam Syafi’i Beliau seorang faqih dan ahli Hadist. Beliau termasuk sesudah athba’u at-tabi’in. guru beliau adalah imam Syafi’I .
Pada masa kholifah Al-wastiq berkuasa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk akan tetapi imam hambali membantah dengan tegas bahwa Al-Qur’an adalah bukan Makhluk. Karena beliau membantah maka beliau di penjara dan disiksa oleh kholifah Al-Wastiq.
a. Nash yakni Al-Qur’an dan marfu’ . Al-Imam Ahmad tidak pernah meninggalkan hadist meskipun ketetapan hadist itu berlawanan dengan faham orang banyak.
b. Fatwa-fatwa dahabat
c. Fatwa sahabat yang lebih dekat pada Al-Qur’an dan as-sunnah, jika fatwa itu berlawan.
d. Hadist Mursal dan Hadist Dloif (beliau maksudkan hadist dloif ialah hadist yang tidak sampai derajat shohih, bukan yang lemah benar)
e. Qiyas, beliau gunakan apabila secara berurutan dari a sampai d tidak ada maka digunakanlah qiyas.


Jumat, 25 Februari 2011

Dari balik tirai hujan sore hari pohon-pohon kelapa di seberang lembah itu seperti perawan mandi basah; segar, penuh gairah, dan daya hidup. Pelepah-pelepah yang kuyup adalah rambut basah yang tergerai dan jatuh di belahan punggung. Batang-batang yang ramping dan meliuk-liuk oleh embusan angin seperti tubuh semampai yang melenggang tenang dan penuh pesona. Ketika angin tiba-tiba bertiup lebih kencang pelepah-pelepah itu serempak terjulur sejajar satu arah, seperti tangan-tangan penari yang mengikuti irama hujan, seperti gadis-gadis tanggung berbanjar dan bergurau di bawah curah pancuran.
Pohon-pohon kelapa itu tumbuh di tanah lereng di antara pepohonan lain yang rapat dan rimbun. Kemiringan lereng membuat pemandangan seberang lembah itu seperti lukisan alam gaya klasik Bali yang terpapar di dinding langit. Selain pohon kelapa yang memberi kesan lembut, batang sengon yang lurus dan langsing menjadi garis-garis tegak berwarna putih dan kuat. Ada beberapa pohon aren dengan daun mudanya yang mulai mekar; kuning dan segar. Ada pucuk pohon jengkol yang berwarna coklat kemerahan, ada bunga bungur yang ungu berdekatan dengan pohon dadap dengan kembangnya yang benar-benar merah. Dan batang-batang jambe rowe, sejenis pinang dengan buahnya yang bulat dan lebih besar, memberi kesan purba pada lukisan yang terpajang di sana.
Dalam sapuan hujan panorama di seberang lembah itu terlihat agak samar. Namun cuaca pada musim pancaroba sering kali mendadak berubah. Lihatlah, sementara hujan tetap turun dan angin makin kencang bertiup tiba-tiba awan tersibak dan sinar matahari langsung menerpa dari barat. Lukisan besar di seberang lembah mendadak mendapat pencahayaan yang kuat dan menjadikannya lebih hidup. Warna-warninya muncul lebih terang, matra ketiganya makin jelas. Muncul pernik-pernik mutiara yang berasal dari pantulan sempurna cahaya matahari oleh dedaunan yang kuyup dan bergoyang. Dari balik bukit, di langit timur yang biru-kelabu, muncul lengkung pelangi. Alam menyelendangi anak-anak perawannya yang selesai mandi besar dengan kabut cahaya warna-warni.
Ketika dengan tiba-tiba pula matahari lenyap, suasana kembali samar. Apalagi hujan pun berubah deras menyusul ledakan guntur yang bergema di dinding-dinding lembah. Angin kembali bertiup kencang sehingga pohon-pohon kelapa itu seakan hendak rebah ke tanah. Ketika itulah dada Darsa terasa berdenyut. Darsa yang sejak lama memandangi pohon-pohon kelapanya di seberang lembah itu, hampir putus harapan. Bila hujan dan angin tak kunjung berhenti Darsa tak mungkin pergi menyadap pohon-pohon kelapanya. Sebagai penderes, penyadap nira kelapa, Darsa sudah biasa turun-naik belasan pohon dalam hujan untuk mengangkat pongkor yang sudah penuh nira dan memasang pongkor baru. Namun hujan kali ini disertai angin dan guntur. Penderes mana pun tak akan keluar rumah meski mereka sadar akan akibatnya; nira akan masam karena pongkor terlambat diangkat. Nira demikian tidak bisa diolah menjadi gula merah. Kalaupun bisa hasilnya adalah gula gemblung, yakni gula pasta yang harga jualnya sangat rendah. Padahal, sekali seorang penyadap gagal mengolah nira, maka terputuslah daur penghasilannya yang tak seberapa. Pada saat seperti itu yang bisa dimakan adalah apa yang bisa diutang dari warung.
Dari emper rumah bambunya Darsa kembali menatap ke timur, menatap pohon-pohon kelapanya yang masih diguyur hujan nun di seberang lembah. Darsa gelisah. Kesejatian seorang penyadap serasa tertantang. Bagi Darsa, bagi setiap lelaki penyadap, pohon-pohon kelapa adalah harapan dan tantangan, adalah teras kehidupan yang memberi semangat dan gairah hidup. Tetapi karena hujan dan angin yang belum juga mereda, Darsa tak berdaya mendekati pohon-pohon kelapa yang terasa terus melambaikan pelepah-pelepah ke arahnya.
Guntur kembali bergema dan hujan menderas lebih hebat lagi. Hati Darsa makin kecut. Mungkin sore ini Darsa harus merelakan niranya berubah menjadi cairan asam karena tidak terangkat pada waktunya. Darsa hampir putus asa. Tetapi pongkor, seruas bambu penadah nira yang bergantungan pada manggar-manggar kelapa, terus memanggil dan mengusik hatinya minta diangkat. Manakala hujan agik surut, harapannya muncul. Namun bila hujan kembali deras dan guntur meledak-ledak, harapan itu lenyap. Sementara suara beduk dari surau Eyang Mus sudah terdengar, sayup menyelinap ke hujan. Asar sudah lewat dan senja hampir tiba. Makin kecil saja kemungkinan Darsa bisa mengangkat niranya sore ini, karena belum juga tampak tanda-tanda cuaca akan berubah.
Sambil menjatuhkan pundak karena merasa hampir kehilangan harapan, Darsa membalikkan badan lalu masuk ke rumah. Berdiri di ruang tengah Darsa melihat Lasi, istrinya, sedang merentang kain basah pada tali isisan di emper sebelah barat. Lasi selesai mandi. Rambutnya basah tergerai, terjun ke belakang telinga kanan, melintir ke depan dan terjumbai di dada. Sekejap Darsa terbayang akan pohon-pohon kelapanya yang sedang disiram hujan. Dan karena Lisi berdiri membelakang, Darsa dapat melihat punggung istrinya yang terbuka. Juga tengkuknya. Ada daya tarik yang aneh pada kontras warna rambut yang pekat dengan kulit tengkuk Lasi yang putih, lebih putih dari tengkuk perempuan mana pun yang pernah dilihat oleh Darsa. Penyadap muda itu tak habis merasa beruntung punya istri dengan kulit sangat putih dan memberi keindahan khas terutama pada bagian yang berbatasan dengan rambut seperti tengkuk dan pipi. Apalagi bila Lasi tertawa. Ada lekuk yang sangat bagus di pipi kirinya.
Di mata Darsa, pesona dan gairah hidup yang baru beberapa detik lalu direkamnya dari pohon-pohon kelapa di seberang lembah, kini berpindah sempurna ke tubuh Lasi. Sama seperti pohon-pohon kelapa yang selalu menantang untuk disadap, pada diri Lasi ada janji dan gairah yang sangat menggoda. Pada Lasi terasa ada wadah pengejawantahan diri sebagai lelaki dan penyadap. Pada diri istrinya juga Darsa merasa ada lembaga tempat kesetiaan dipercayakan. Dan lebih dari pohon-pohon kelapa yang tak putus meneteskan nira, Lasi yang sudah tiga tahun menjadi istrinya, meski belum memberinya keturunan, adalah harga dan cita-cita hidup Darsa sendiri.
Lasi dan Darsa sama-sama tersenyum. Di luar, hujan masih deras. Rumah bambu yang kecil itu terasa sepi dan dingin. Hanya terdengar suara hujan dan tiupan angin pada rumpun bambu di belakang rumah kecil itu. Atau suara induk ayam dan anak-anaknya di emper belakang. Dari satu-satunya rumah yang dekat pun, rumah orangtua Lasi, tak terdengar kegiatan apa-apa. Lasi dan Darsa kembali berpandangan dan kembali sama-sama tersenyum.
Lasi selesai mengisis kain basahan. Ketika hendak masuk ke dalam matanya bersitatap dengan suaminya. Entah mengapa Lasi terkejut meski ia tidak merasa asing dengan cara Darsa menatap dirinya. Ia pun kadang-kadang mencuri pandang, memperhatikan tubuh suaminya dari belakang; sebentuk tubuh muda dengan perototan yang kuat dan seimbang, khas tubuh seorang penyadap yang tiap hari dua kali naik-turun belasan atau bahkan puluhan pohon kelapa. Dalam gerakan naik-turun pada tatar-tatar batang kelapa, seluruh perototan seorang penyadap digiatkan, terutama otot-otot tungkai, tangan, dan punggung. Hasilnya adalah sebentuk tubuh ramping dengan otot liat dan seimbang. Bila harus dicatat kekurangan pada bentuk tubuh seorang penyadap, itu adalah pundaknya yang agak melengkung ke depan karena ia harus selalu memeluk batang kelapa ketika memanjat maupun turun.
"Las, apa aku harus tidak berangkat?"
"Kan masih hujan."
"Bagaimana bila aku berangkat juga?"
"Terserah, Kang. Tetapi kurang pantas, dalam cuaca seperti ini kamu bekerja juga."
"Berasmu masih ada?"
"Masih, Kang. Uang juga masih ada sedikit. Kita besok masih bisa makan andaikata nira sore ini terpaksa tidak diolah."
"Tapi sayang sekali bila pongkor-pongkor dibiarkan tetap bergantungan dan niranya masam. Manggar bisa busuk."
"Ya. Soalnya, hujan masih lebat, Kang."
"Hujan masih lebat ya, Las?"
"Ya..."
Lasi tak meneruskan kata-katanya karena tiba-tiba suasana berubah. Darsa memandang Lasi dengan mata berkilat. Keduanya beradu senyum lagi. Darsa selalu berdebar bila menatap bola mata istrinya yang hitam pekat. Seperti kulitnya, mata Lasi juga khas; berkelopak tebal, tanpa garis lipatan. Orang sekampung mengatakan mata Lasi kaput. Alisnya kuat dan agak naik pada kedua ujungnya. Seperti Cina. Mungkin Darsa ingin berkata sesuatu. Tetapi Lasi yang merasa dingin masuk ke bilik tidur hendak mengambil kebaya. Dan Darsa mengikutinya, lalu mengunci pintu dari dalam. Keduanya tak keluar lagi. Ada seekor katak jantan menyusup ke sela dinding bambu, keluar melompat-lompat menempuh hujan dan bergabung dengan betina di kubangan yang menggenang. Pasangan-pasangan kodok bertunggangan dan kawin dalam air sambil terus mengeluarkan suaranya yang serak dan berat. Induk ayam di emper belakang merangkul semua anaknya ke balik sayap-sayapnya yang hangat. Udara memang sangat dingin.
Darsa hampir terlelap di samping istrinya ketika suasana di luar tiba-tiba berubah. Hujan benar-benar berhenti, bahkan matahari yang kemerahan muncul dari balik awan hitam. Semangat penyadap sejati membangunkan Darsa. Ia segera bangkit dan keluar dari bilik tidur. Lasi pun mengerti, suaminya terpanggil oleh pekerjaannya, oleh semangat hidupnya. Penderes mana saja akan segera pergi mengangkat pongkor pada kesempatan pertama. Sementara Darsa pergi ke sumur untuk mengguyur seluruh tubuhnya, Lasi menyiapkan perkakas suaminya; arit penyadap, pongkor-pongkor dan pikulannya, serta caping bambu. Kemudian Lasi pun menyusul ke sumur, juga untuk mengguyur seluruh tubuhnya. Lasi mandi besar lagi meski rambutnya belum sempat kering.
Tanpa kata sepatah pun Lasi melepas Darsa berangkat. Terdengar kelentang-kelentung suara tabung-tabung bambu saling beradu ketika sepikul pongkor naik ke pundak Darsa. Seorang penyadap muda melangkahkan kakinya yang ramping dan kuat di atas tanah basah yang di sana-sini masih tergenang air hujan. Darsa terus melangkah menuju tanah lereng di seberang lembah. Sisa air hujan menetes dari dedaunan, beberapa tetes jatuh menimpa caping bambu yang menutup kepalanya.
Gemercik air dalam parit yang tertutup berbagai jenis pakis-pakisan yang basah dan hijau segar. Darsa melintas titian dua batang bambu. Ketika tepat berada di tengahnya ia melihat setangkai pelepah pinang kuning tiba-tiba runduk lalu lepas dari batang dan melayang jatuh ke tanah. Pelepah itu terpuruk menimpa rumpun nanas liar. Di atas sana pelepah pinang itu meninggalkan mayang putih bersih dan masih setengah terbungkus selubung kelopak. Darsa merasa seakan baru melihat sebuah kematian setangkai pelepah pinang datang hampir bersamaan dengan kelahiran sejumbai mayang.
Lepas dari titian bambu Darsa menelusur jalan setapak yang naik bertatar yang dipahat pada lereng cadas. Turun lagi, melintas titian kedua, dan di hadapan Darsa terhampar sawah yang menjadi dasar lembah. Di ujung lembah adalah tanah lereng. Di sanalah pekarangan Darsa dan di sana pula pohon-pohon kelapanya tumbuh.
Darsa menurunkan pikulan dari pundaknya, mengambil dua pongkor. Sisa air hujan masih meluncur sepanjang batang kelapa yang hendak dipanjatnya. Sambil naik ke tatar pertama, Darsa mengikatkan ujung tali kedua pongkor pada kait logam yang terdapat pada sabuk bagian punggung. Maka ketika memanjat tatar demi tatar kedua pongkor itu seperti ekor yang berayun-ayun ke kiri dan ke kanan. Arit penyadap terselip di pinggang. Tetes air berjatuhan ketika pohon kelapa bergoyang oleh gerakan tubuh Darsa yang mulai naik. Darsa terus memanjat dengan semangat yang hanya ada pada seorang penyadap.
Selalu eling dan nyebut, adalah peringatan yang tak bosan disampaikan kepada para penyadap selagi mereka bekerja di ketinggian pohon kelapa. Darsa pun tak pernah melupakan azimat ini. Seperti semua penyadap, Darsa tahu apa akibat kelalaian yang dilakukan dalam pekerjaannya. Terjatuh dari ketinggian pohon kelapa adalah derita yang sangat niscaya dan dalam musibah demikian hanya sedikit penyadap yang bisa bertahan hidup. Maka Darsa tahu bahwa ia harus tetap berada dalam kesadaran tinggi tentang di mana ia sedang berada dan apa yang sedang dilakukannya serta keadaan apa yang berada di sekelilingnya. Ia harus eling. Untuk mengundang dan menjaga taraf kesadaran seperti itu diajarkan turun-temurun kepada para penyadap: nyebut, ucapkan dengan lidah dan hati bahwa pekerjaanmu dilakukan atas nama Yang Maha selamat.
Tetapi ketika duduk ngangkang di atas pelepah sambil mengiris manggar kesadaran Darsa tidak terpusat penuh pada pekerjaan yang sedang dilakukannya. Saat itu Darsa merasa sangat sulit melupakan keberuntungan yang baru dikenyamnya beberapa saat lalu di rumah. Anehnya, sulit juga bagi Darsa meyakinkan diri bahwa sumber keberuntungan itu, Lasi, adalah istrinya yang tak kurang suatu apa. Bukan karena Darsa tidak percaya akan keabsahan perkawinannya. Bukan pula karena Darsa meragukan ketulusan Lasi. Keraguan Darsa datang karena banyak celoteh mengatakan bahwa Lasi yang berkulit putih dengan mata dan lekuk pipi yang khas itu sesungguhnya lebih pantas menjadi istri lurah daripada menjadi istri seorang penyadap. Darsa juga pernah mendengar selentingan yang mengatakan bahwa rumah bambunya yang kecil adalah kandang bobrok yang tak layak ditempati seorang perempuan secantik Lasi. Lalu, Darsa sendiri sering melihat bagaimana mata para lelaki tiba-tiba menyala bila mereka memandang Lasi.
Turun dari pohon kclapa pertama, kedua pongkor yang bergdantungan pada sabuk Darsa sudah bertukar. Kini kedua tabung bambu itu berisi nira. Sebelum sampai ke tatar terendah, Darsa mencabut tali pongkor dari kaitnya lalu meletakkan keduanya dengan hati-hati di tanah. Diambilnya dua pongkor baru dan Darsa siap memanjat pohon kelapa berikut. Entah mengapa Darsa sangat senang menyadap pohon kedua ini. Barangkali karena dari atas pohon ini pemandangan ke barat lebih bebas. Dari ketinggian Darsa dapat melihat rumahnya. Bahkan Darsa dapat juga melihat istrinya, meski samar, apabila Lasi kebetulan keluar. Atau karena kelapa ini tumbuh sangat dekat dengan sebatang pohon pinang. Pucuk pohon pinang itu berada di bawah mata ketika Darsa duduk di antira pelepah-pelepah kelapanya. Dan di sela-sela ketiak pelepah pinang itu ada sarang burung jalak. Anak-anak burung yang masih terpicing mata itu selalu menciap minta makan bila ada gerakan di dekatnya. Mulut mereka merah. Mereka kelihatan sangat lemah, tetapi menawan. Darsa biasa berlama-lama menatap anak-anak burung itu. Ia juga senang memperhatikan betapa sibuk induk jalak pergi-pulang untuk mencari makanan bagi anak-anaknya. Tetapi karena anak-anak burung itu Darsa jadi sering berkhayal, kapan Lasi punya bayi? Bila ada keindahan tercipta ketika seekor induk jalak menyuapi anaknya, betapa pula keindahan yang akan menjelma ketika terlihat seorang ibu sedang meneteki bayinya, apalagi bila si ibu itu adalah Lasi?
Tiga tahun usia perkawinan tanpa anak sering menjadi pertanyaan berat bagi Darsa. Ada teman, meski hanya dalam gurauan, mengatakan Darsa tidak becus sehingga sampai sekian lama Lasi belum juga hamil. Gurauan ini saja sudah sangat menyakitkan hatinya. Apalagi ketika ia menyadari sesuatu yang lebih gawat dan justru khih mendasar; anak adalah bukti pengejawantahan diri yang amat penting sekaligus menjadi bubul perkawinannya dengan Lasi. Sebagai bukti perkawinan, surat nikah boleh disimpan di bawah tikar. Tapi anak? Bila Lasi sudah membopong bayi, Darsa boleh berharap segala celoteh segera hilang. Kukuh sudah kedaulatannya atas Lasi. Orang tak usah lagi berkata bahwa sesungguhnya Lasi lebih pantas menjadi istri lurah karena dia adalah ibu yang sudah melahirkan anak Darsa.
Pasangan induk jalak datang. Keduanya membawa belalang pada paruh masing-masing. Tetapi mereka tak berani mendekat sarang selama Darsa masih bertengger di atas pelepah kelapa. Anak-anak jalak menciap karena mendengar suara induk mereka. Darsa menghentikan kegiatan dan mengarahkan pandang ke pucuk pinang di sebelahnya. Anak-anak burung itu membuka mulutnya yang merah segar. Namun dalam pandangan Darsa, anak-anak burung itu adalah seorang bayi yang tergolek dan bergerak-gerak menawan dalam buaian. Darsa menarik napas panjang.
Di rumah, Lasi menyiapkan tungku dan kawah untuk mengolah nira yang sedang diambil suaminya. Senja mulai meremang. Setumpuk kayu bakar diambilnya dari tempat penyimpanan di belakang tungku. Sebuah ayakan bambu disiapkan untuk menyaring nira. Pada musim hujan Lasi sering mengeluh karena jarang tersedia kayu bakar yang benar-benar kering. Mengolah nira dengan kayu setengah basah sungguh menyiksa. Bahkan bila tak untung, gula tak bisa dicetak karena pengolahan yang tak sempurna.
Pernah, karena ketiadaan kayu kering dan kebutuhan sangat tanggung, Lasi harus merelakan pelupuh tempat tidurnya masuk tungku. Tanggung, karena sedikit waktu lagi nira akan mengental jadi tengguli. Dalam tahapan ini pengapian tidak boleh terhenti dan pelupuh tempat tidur adalah kemungkinan yang paling dekat untuk menolong keadaan. Meskipun begitu tak urung Lasi ketakutan, khawatir akan kena marah suaminya karena telah merusak tempat tidur mereka satu-satunya. Untung, untuk kesulitan semacam ini emak Lasi mempunyai nasihat yang jitu: segeralah mandi, menyisir rambut, dan merahkan bibir dengan mengunyah sirih. Kenakan kain kebaya yang terbaik lalu sambutlah suami di pintu dengan senyum. Nasihat itu memang manjur. Darsa sama sekali tidak marah ketika diberitahu bahwa tempat tidur satu-satunya tak lagi berpelupuh. Daripada melihat tempat tidur yang sudah berantakan, Darsa lebih tertarik kepada istrinya yang sudah berdandan. Malam itu lampu di rumah Darsa padam lebih awal meski mereka harus tidur dengan menggelar tikar di alas lantai tanah.
Beduk kembali terdengar dari surau Eyang Mus. Magrib. Pada saat seperti itu selalu ada yang ditunggu oleh Lasi; suara "hung", yaitu bunyi pongkor kosong yang ditiup suaminya dari ketinggian pohon kelapa. Untuk memberi aba-aba bahwa dia hampir pulang. Darsa biasa mendekatkan mulut pongkor kosong ke mulut sendiri. Bila ia pandai mengatur jarak pongkor di depan mulutnya, "hung" yang didengungkannya akan menciptakan gaung yang pasti akan terdengar jelas dari rumah. Setiap penyadap mempunyai gaya sendiri dalam meniup "hung" sehingga aba-aba ini gampang dikenali oleh istri masing-masing
Api di tungku sudah menyala. Tapi Lasi masih meniup-niupnya agar yakin api tidak kembali padam. Pipi Lasi yang putih jadi merona karena panas dari tungku. Ada titik pijar memercik. Dan Lasi menegakkan kepala ketika terdengar suara "hung". Wajahnya yang semula tegang, mencair. Tetapi hanya sesaat karena yang baru didengarnya bukan "hung" suaminya. Tak salah lagi. Lasi mengenal aba-aba dari suaminya seperti ia mengakrabi semua perkakas pengolah nira.
Lasi kembali jongkok di depan tungku. Wah, kawah yang masih kosong sudah panas, sudah saatnya
nira dituangkan. Tetapi Darsa belum juga muncul. Di luar sudah gelap. Lasi bangkit ingin berbuat sesuatu.
Ketika yang pertama terlihat adalah lampu minyak tercantel pada tiang, Lasi sadar bahwa yang harus dilakukannya adalah menyalakan lampu itu. Malam memang sudah tiba. Diraihnya lampu minyak itu, dibawanya ke dekat tungku untuk dinyalakan. Cahaya remang segera terpancar memenuhi ruang sekeliling. Lasi mengembalikan lampu ke tempat semula. Dan pada saat itu ia mendengar suara langkah berat mendekat; langkah lelaki yang membawa beban berat dan berjalan di tanah basah. Apa yang biasa
dilakukan Lasi pada saat seperti itu adalah menyongsong suaminya, membantunya menurunkan pikulan, kemudian segera menuangkan nira dari pongkor-pongkor ke dalam kawah yang sudah panas.
Tetapi pada senja yang mulai gelap itu Lasi malah tertegun tepat di ambang pintu. Samar-samar ia melihat sosok lelaki yang mendekat dengan langkah amat tergesa. Lelaki itu datang bukan dengan beban di pundak melainkan di gendongannya. Beban itu bukan sepikul pongkor melainkan sesosok tubuh yang tak berdaya. Setelah mereka tertangkap cahaya lampu minyak segalanya jadi jelas; lelaki yang membawa beban itu bukan Darsa melainkan Mukri. Dan Darsa terkulai di punggung lelaki sesama penyadap itu. Ada rintihan keluar dari mulut yang mengalirkan darah.
Lasi beku. Jagatnya limbung, berdengung, dan penuh bintang beterbangan. Kesadarannya melayang dan jungkir balik.
"Katakan, ada kodok lompat!" ujar Mukri dalam napas megap-megap karena ada beban berat di gendongannya. "Jangan bilang apa pun kecuali ada kodok lompat," ulangnya.
Lasi ternganga tanpa sepotong suara pun keluar dari mulutnya. Bahkan Lasi hanya memutar tubuh dengan mulut tetap ternganga ketika Mukri menyerobot masuk dan menurunkan Darsa ke lincak bambu di ruang tengah. Darsa langsung rebah terkulai dan mengerang panjang. Dan tiba-tiba Lasi tersadar dari kebimbangannya. Lasi hendak menubruk suaminya tetapi Mukri menangkap pundaknya.
"Tenang, Las. Dan awas, jangan bilang apa-apa kecuali, ada kodok lompat!"
"Ya! Bukan apa-apa, sekadar kodok lompat," jawab Mukri dengan pembawaan tenang. Tetapi Lasi menjerit dan terkulai pingsan. Separuh badannya tersampir di balai-balai dan separuh lagi selonjor di tanah. Darsa kembali mengerang panjang.
"Innalillahi... ada-kodok-lompat?"
Wajah Lasi tergetar menjadi panggung tempat segala rasa naik pentas. Kedua bibirnya bergetar. Air mata cepat keluar. Cuping hidungnya bergerak-gerak cepat. Kedua tangannya mengayun ke sana kemari tanpa kendali. Tenggorokan rasa tersekat sehingga Lasi belum bisa berkata apa pun. Dan ketika Lasi benar-benar sadar akan apa yang terjadi, tangisnya pecah.






puisi

Pagi telah merubah rasa males menjadi dingin.
Pagi telah menjadikan rasa semangat bangkit lagi
Cahaya di pagi hari terpancar bagaikan cahaya kehidupan
Ku buka mataku untuk mengucapkan kata bismillah pertanda untuk mulai hidup di hari ini.

Cinta...kau telah membuatku sadar akan arti cinta sesungguhnya.
Cinta...kau telah membawaku ke suasana yang... belum pernah aku rasakan.
Tapi cinta...kau sudah mengenalkanku rasa benci dan kebencian.
Kau juga telah menjadikan persahabatan menjadi seperti air dengan minyak.
Cinta ..mengapa engkau datang di tengah persahabatan yang begitu indah
Engkau sudah menumpahkan air persahabatan yang begitu lama mengumpul
Engkau telah merubah rasa yang biasa menjadi rasa yang tidak biasa.
Engkau juga yang membuat kehidapanku bagaikan tercabik-cabik oleh duri.
Wahai cinta....engkau ini memiliki dua pengertian, negatif dan positif.
Tapi engkau susah untuk di hindari kalu engkau di artikan negatif.
Wahai cinta....menjauhlah dari mutiara persehabatan ini, jika engkau di artikan negatif.
Engkau belum waktunya masuk dalam jiwa seseorang yang belum bisa mengerti arti cinta yang baik.

Minggu, 13 Februari 2011

KH. Wahab Chasbullah


Kh. Wahab chasbullah adalah pendiri dan penegak Nadahtul 'Ulama. beliau adalah pengasuh pondok pesantren Bahrul 'Ulum.Ia adalah , kiyai beneran, berkomitmen.
Anak Ikava sangat mencintai engkau ya mbah wahab.
I love you Mbah Wahab

Jumat, 11 Februari 2011

ibu ku tersayang


Tidak Ada Alasan Bagi Kita Untuk Tidak Menghormati  Kedua Orang Tua
Doa Untuk Ibu kita Yang Sangat Kita Cintai
Kalau kita mau sedikit melihat atau mengingat, bagaimana seorang ibu dalam kehamilan dan dalam proses persalinan, niscaya tangan beliau segera kita ambil, dan segera kita ciuuum.
Sungguh …. kami sayang engkau……ibu
Sembilan bulan engkau mengandung, Sembilan bulan juga engkau menahan sesuatu yang di larang dan yang bisa mengganggu bayi yang ada dikandungan engkau. Sungguh pengorbanan yang tidak bisa aku balas, sungguh bodohnya aku kalau aku tidak sopan, tidak ingat pada engkau, menyakiti hatimu, dan mengecewakanm. Sungguh bodohnya aku bu. 
Izinkan aku memohon maaf kepada engkau bu.  
Kepada Tuhan, ampunkanlah segala kesalahan dan dosa kedua orang tua, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kami..
            Bila keridhoan-Mu ada pada keridhoan orang tua kami, maka ridhoilah kedua orang tua kami agar mereka meridhoi kami juga, andai Engkau sayang kepada kami lantaran kami sayang kepada kedua orang tua  kami. jAdikanlah kami anak-anak yang selalu menyayangi mereka, dalam suka dan dalam duka.
            Bila kami sedikit membayang, bagaimana kami dalam asuhan kedua orang tua, dekapan orang tua, terutama ibu, rasanya takan pernah tertebus segala kebaikan mereka, dan rasanya tak wajar bila kami melihat celah keburukannya. Sekedar ngantuk tak dihiraukannya, sekedar capek tak juga diindahkannya, semuanya demi kami, anak-anak-nya
            Wahai pem,ilik surga dengan segala kenikmatan, andai Engkau takdirkan surga menjadi tempat kami kelak di hari akhir, maka orang tua kamilah yang lebih layak memasukinya terlebih dahulu. Dan andaikan neraka yang menjadi tempat bagi kedua orang tua kami_ (ah.. tak sanggup aku mengatkan ini) kami lebih suka mengatakan, andai bukan surge tempat orang tua kami, maka biarlah kam,I yang menjadi penebus bagi orang tua kami, Engkau pemilik hari akhir, dan di hari akhir ada ampunan dan azab-Mu, sedang Engkau maha pengampun lagi maha penyayang.
Kami Semua Sayang IBU……                                                                                                  By
Achmad Muzakki


Cerpen Putu Wijaya 

Guru  
Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam
apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong. "Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!" Taksu mengangguk. "Betul Pak." Kami kaget. "Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?" "Ya." Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak percaya apa yang kami
dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya.
Kami bertambah khawatir, karena Taksu tidak takut bahwa kami tidak setuju. Istri saya menarik nafas dalam-dalam karena kecewa, lalu begitu saja pergi. Saya mulai bicara blak-blakan.
"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"
"Tapi saya mau jadi guru." "Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda
tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikira
lagi dengan tenang dengan otak dingin!" "Sudah saya pikir masak-masak." Saya terkejut. "Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!" Taksu menggeleng. "Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru." "Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!" Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang perjalanan. Yang dijadikan
bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah yang sudah salah didik, sehingga Taksu jadi cupet pikirannya. "Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja sekarang. Masak mau jadi guru.
Itu kan bunuh diri!" Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak disukainya, semua dianggapnya hasil
perbuatan saya. Nasib suami memang rata-rata begitu. Di luar bisa galak melebihi macan, berhadapan dengan istri, hancur.
Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami berdua datang lagi mengunjungi Taksu di tempat kosnya. Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan kosong. Istri saya membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri membawa sebuah lap top baru yang paling canggih, sebagai kejutan.
Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat terpukul. Ketika kami tanyakan bagaimana hasil perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban yang sama.
"Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak," katanya sama sekali tanpa rasa berdosa. Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang mukanya. Ia tak bisa lagi
mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis. "Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang pada guru itu
ya?!" damprat istri saya. "Mentang-mentang mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?"
Taksu tidak menjawab. "Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara tidak pernah memberi gaji
yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang yang lemah hati seperti kamu, masih tetap mau jadi guru. Padahal anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja kamu tidak nyahok?"
Taksu tetap tidak menjawab. "Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang
penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?"
Taksu mengangguk. "Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?" Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya. Akhirnya dia menyembur. "Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya bisa
lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!" Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak mungkin membantah. Di
jalan istri saya berbisik. "Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu, sebelum ia kejeblos terlalu dalam. Ia memang
memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yang menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top tapi mobil! Bapak harus kerja keras beliin dia mobil, supaya mau mengikuti apa nasehat kita!"
Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa artinya bantahan seorang suami. Kalau adik istri saya atau kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah, mungkin akan diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan harap. Apa saja yang saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih kepentingan keluarga saya. Istri memang selalu mengukur suami, dari perasaannya sendiri.
Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi kami. Saya jadi cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua, orang tua yang selalu minta diperhatikan anak.
Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini saya datang dengan kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan mengambil kredit sebuah mobil. Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya hanya kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan bonus janji, kalau memang dia mau mengubah cita-citanya, jangankan mobil mewah, segalanya akan saya serahkan, nanti.
"Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu. "Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak."
Taksu melihat kunci itu dengan dingin. "Hadiah apa, Pak?" Saya tersenyum. "Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau
jadi apa kamu sebenarnya?"
Taksu memandang saya. "Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?" Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali. "Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga, kalau kamu
berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran. Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!"
Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir. Kemudian saya bersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut kunci itu lagi.
"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak."
Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan saya ditaruhnya kembali kunci mobil itu.
"Saya ingin jadi guru. Maaf." Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya tampar. Kebandelannya itu amat
menjengkelkan. Pesawat penerimanya sudah rusak. Untunglah iman saya cukup baik. Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak itu saya genggam dan masukkan ke kantung celana.
"Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak apa."
Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar naik pitam. Saya kira Taksu pasti sudah dicocok hidungnya oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa melakukan itu, kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang saya anggap sudah kurang ajar menjerumuskan anak saya supaya terkiblat pikirannya untuk menjadi guru. Sialan!
Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya membawa kunci mobil mewah. Tapi terlebih dulu saya mengajukan pertanyaan yang sama.
"Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?" "Mau jadi guru." Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas meja. Gelas di atas meja meloncat. Kopi
yang ada di dalamnya muncrat ke muka saya.
"Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata dan pikiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa kamu mau jadi guru, Taksu?!!!"
"Karena saya ingin jadi guru." "Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!" "Saya mau jadi guru." "Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru." Taksu menatap saya. "Apa?" "Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap. Taksu balas memandang saya tajam. "Bapak tidak akan bisa membunuh saya." "Tidak? Kenapa tidak?" "Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang
diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak."
Saya tercengang. "O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?" "Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati." Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup. "Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori pikiran kamu dengan semboyan keblinger
itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?" Taksu memandang kepada saya tajam. "Siapa Taksu?!" Taksu menunjuk. "Bapak sendiri, kan?" Saya terkejut. "Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan ngacau! Kamu tidak bisa hidup
dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu! Waktu itu kamu malas. Kamu tidak mau
sekolah, kamu hanya mau main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus menghormati mereka, sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini. Tahu?"
Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya telanjangi semua persepsinya tentang hidup. Dengan tidak malu-malu lagi, saya seret nama pacarnya si Mina yang mentang-mentang cantik itu, mau menyeret anak saya ke masa depan yang gelap.
"Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap. "Kalau cinta bener buta apa gunanya ada bikini," lanjut saya mengutip iklan yang saya sering papas di jalan. "Kalau kamu menjadi buta, itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru, tidak berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi kamu. Buat apa? Justru kamu harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi guru, sebab mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu semuanya hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab. Kita bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya memanfaatkan materi itu untuk menambah hidup kita lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab? Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini!"
Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah. "Ini satu milyar tahu?!" Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu saya ambil kembali sambil siap-siap hendak
pergi. "Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab kamu baru saja menghina kami! Tinggalkan
perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan dapat 7 kali perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!"
Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan pada istri saya apa yang sudah saya lakukan. Saya kira saya akan dapat pujian. Tetapi ternyata istri saya bengong. Ia tak percaya dengan apa yang saya ceritakan. Dan ketika kesadarannya turun kembali, matanya melotot dan saya dibentak habis-habisan.
"Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!" teriak istri saya kalap. Saya bingung. "Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih anak mobil, kasih saja
jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama anak dagang. Dasar mata duitan!" Saya tambah bingung. "Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"
Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hati saya rontok. Taksu itu anak satu-satunya. Sebelas tahun kami menunggunya dengan cemas. Kami berobat ke sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi buatan dan akhirnya sempat dua kali mengikuti program bayi tabung. Semuanya gagal. Waktu kami pasrah tetapi tidak menyerah, akhirnya istri saya mengandung dan lahirlah Taksu. Anak yang sangat mahal, bagaimana mungkin saya akan biarkan dia kabur?
"Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap. Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu seperti sudah tahu saja,
bahwa ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah kost itu sudah kosong. Dia pergi membawa semua barang-barangnya, yang tinggal hanya secarik kertas kecil dan pesan kecil:
"Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru." Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari buku hariannya itu. Kertas yang nilainya
mungkin hanya seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci BMW yang harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito saya. Saya duduk di dalam kamar itu, mencium bau Taksu yang masih ketinggalan. Pikiran saya kacau. Apakah sudah takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? Mau tak mau saya kembali memaki-maki Mina yang sudah menyesatkan pikiran Taksu. Kembali saya memaki-maki guru yang sudah dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia, padahal dalam kenyataannya banyak sekali guru yang brengsek.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran listrik. Tetapi ketika menoleh, itu bukan Taksu tetapi istri saya yang menyusul karena merasa cemas. Waktu ia mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah dan kemudian menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi sasaran. Untuk pertama kalinya saya berontak. Kalau tidak, istri saya akan seterusnya menjadikan saya bal-balan. Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia tercengang sebab untuk pertama kalinya saya membantah. Akhirnya di bekas kamar anak kami itu, kami bertengkar keras.
Tetapi itu 10 tahun yang lalu. Sekarang saya sudah tua. Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar
dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.
"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi. ***a


Lelaki Muda dan Gadis Kecil Cerpen: FR Susanti Sumber: Jawa Pos, Edisi 03/27/2005 "Tamu Bu," Bibi membungkuk santun, mengarahkan ibu jarinya ke ruang depan. "Siapa?" tanyaku sambil melipat koran, melepas kaca mata. "Tidak tahu Bu, belum pernah ke mari." Aku mengangguk. Bangkit dengan benak penuh tanya, aku yakin tamu itu bukan teman bisnisku, karena
ini hari Minggu. Bukan pula saudara, karena biasanya mereka menelepon lebih dulu memastikan aku ada di rumah. Mungkin saudara jauh atau teman lama yang tidak tahu adat kebiasaanku? Bisa jadi.
Begitu membuka pintu kudapati seorang lelaki muda dan gadis kecil yang tengah bercanda di teras. Lelaki itu berkulit coklat terbakar matahari, berpakaian agak lusuh. Si gadis kecil berkulit lebih terang, berbaju baru dengan bahan kualitas rendah. Ketika gadis itu menoleh padaku, segera kutangkap sinar di wajahnya yang membuatku terkesiap beberapa saat. Sinar wajah itu tak asing bagiku. Meski bentuk hidung dan mata kedua tamu itu sama --yang membuatku bisa segera menyimpulkan bahwa mereka adalah bapak dan anak-- namun kutemui sinar lain di wajah anak itu.
Lelaki muda itu menoleh ke pintu, ke arahku. Seketika dia berdiri, mengangguk sedikit dan mengucap selamat siang. Aku menjawab dengan sedikit goyangan kepala. Sedikit saja. Tawa kecil si gadis kecil pun terhenti. Kupersilakan keduanya masuk, masih dengan jantung yang sedikit berdebar. Siapa mereka? Lelaki lusuh dengan sorot mata tajam. Jelas kemari bukan untuk minta sumbangan.
Setelah kami duduk, dia mulai memperkenalkan dirinya.
"Saya Jaya, Tante. Dan ini Neyla," katanya sambil meletakkan tangannya di bahu gadis kecil itu. Neyla. Nama yang begitu mirip dengan nama anak gadisku dulu, Neyna. "Maaf, mengganggu hari libur Tante," katanya. Suaranya mantap dengan intonasi jelas dan tatap mata
yang begitu percaya dirinya. Aku yakin dia bukan orang sembarangan. Cara dia berbicara dan tatap mata itu, tidak dimiliki oleh
sembarang orang. Untung aku memperlakukannya dengan baik, batinku. Kutatap dia lebih lekat, mencoba menjajaki lebih dalam siapa sebenarnya laki-laki di depanku itu. Dia cukup tampan. Mungkin kemelaratan membuatnya kurang terawat dan tampak lebih tua dari usia sebenarnya.
"Saya ada titipan dari Neyna." Neyna. Dia menyebut nama itu! Seketika menegang otot-ototku. "Maaf baru bisa menyampaikan sekarang," lanjutnya. "Sangat terlambat, tetapi memang baru sekarang
kami sempat ke kota ini." Dia keluarkan dari tasnya yang kumal sebuah bungkusan pipih dan diulurkannya padaku. Kuterima
bungkusan itu dan kubuka salah satu sisinya. Foto kami. Aku, suamiku, Andreas, dan Neyna. Foto yang dibuat ketika dua anak kami masih kecil. Mungkin Neyna baru seusia gadis di depanku itu. Jadi Neyna yang telah mengambil foto ini dari ruang tengah, batinku.
"Neyna minta maaf tidak minta izin mengambilnya dan minta tolong saya mengembalikannya kemari." "Kenapa bukan dia sendiri yang mengembalikannya pada kami?" keramahan yang baru mulai muncul
seketika sirna. Sikapku berubah dingin dan kaku. Ingatan pada Neyna, anak perempuanku itu telah membuka kembali luka masa lalu. Masih jelas dalam
ingatan betapa anak yang kukandung, kulahirkan dan kubesarkan itu tega menampar-nampar wajahku. Aku tak tahu, apa yang telah merasukinya. Neyna yang begitu manis dan menyegarkan hari-hari kami sekeluarga, sedikit demi sedikit mulai berubah begitu masuk kuliah dulu. Awalnya, hanya ikut kegiatan kemahasiswaan saja. Selanjutnya dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman di organisasi mahasiswa. Waktu itu aku mulai menegurnya. Kami sempat berdebat sebelum akhirnya tercapai kesepakatan bahwa aku tidak akan melarangnya berkegiatan selama dia mampu mempertahankan prestasi akademiknya.
Lama-lama dia mulai malas pulang. Rumah hanya dijadikan tempat singgah, tempat menyimpan barang yang diperlukannya kadang-kadang. Komunikasinya denganku menurun drastis. Aku yang dulu berfungsi sebagai teman ngobrol berubah menjadi kasir yang hanya ditemui pada saat butuh duit. Begitu jarangnya dia pulang hingga kadang aku terkaget-kaget ketika bertemu. Anak gadisku yang cantik, bersih, dan wangi tiba-tiba kutemui telah jadi malas merawat diri. Dia datang menemuiku dengan wajah tirus, mata lelah, dan baju yang apek. Bahkan pertemuan selanjutnya tidak kutemui lagi rambut hitamnya yang dulu lebat dan indah dengan poni yang membuatnya seperti boneka Barbee. Rambut itu telah dipangkas pendek karena dia merasa terlalu ribet mengurusnya.
Aku mulai punya alasan untuk marah dan melarangnya berkegiatan, tetapi dia membantah. Bahkan terang-terangan menyatakan sikapnya terhadapku. Mengkritik aku yang katanya otoriter, menjalankan kepemimpinan rumah tangga dan perusahaan sekehendakku, tanpa mau mendengar usulan dan suara ketertindasan orang lain. Siapa tak akan terbakar? Tahu apa dia tentang kehidupan rumah tangga?
palagi tentang perusahaan. Tak sadarkah dia bahwa perusahaanlah yang membuatnya bisa hidup seperti sekarang?
"Perusahaan itu tumpuan hidup kita. Kamu tidak perlu mencampuri urusanku di sana karena kehancuran perusahaan berarti kehancuran hidup kita," kataku pelan namun tajam.
"Ya, memang perusahaan itu yang membuat kita jaya dan kaya-raya. Tetapi ingat Ma, itu bukan hasil kerja Mama. Para buruh itulah tulang punggungnya. Dan selama ini Mama dengan atas nama perusahaan telah memeras tenaga mereka tanpa imbalan yang sepadan," teriak Neyna lantang.
Aku meradang. "Kalau tak suka dengan cara kerjaku, jangan makan dari hasil kerjaku. Pergi, carilah makan sendiri atau tetap tinggal di sini dan kunci mulutmu!"
Di luar dugaan, benar-benar di luar dugaan, Neyna menerima tantanganku. Dia memilih keluar dari rumah. Meninggalkan kehidupan yang tak ada kurangnya ini dan menggantinya dengan kehidupan liar. Kehidupan yang serba tak tentu. Tidur di mana pun dan makan dari siapa pun. Entah seperti apa tepatnya, aku tak bisa membayangkan.
Pernah aku berniat menyusulnya karena tak tega, tetapi sebelum niat itu kesampian dia justru memimpin demo karyawan menuntut perbaikan kesejahteraan. Maka tidak sekadar gagal keinginanku menjemputnya, tetapi lebur juga maafku untuknya. Sejak itu aku tak mau berpikir tentang anak itu lagi. Dia kuanggap sudah hilang atau mati. Dia sudah bukan anakku lagi! Rupanya kepergiannya waktu itu sambil membawa foto yang sekarang ada di tanganku ini.
"Kenapa tak dia kembalikan sendiri foto ini?" tanyaku dengan sisa kemarahan masa lalu. "Dia tak bisa," jawab Jaya. "Kenapa?" tanyaku. "Takut bertemu denganku?" "Bukan," Jaya menggeleng lemah. Berkedip-kedip sebentar. "Dia tak bisa menemui siapa pun lagi,"
lanjutnya pelan sambil menahan napas. "Sakit?" tanyaku masih dengan keangkuhan. Jaya menggeleng. Tanpa menatapku dia berkata-kata, "Neyna sudah…. pergi. Setengah tahun lalu."
Dan laki-laki di hadapanku itu pun mengusap air matanya yang mengambang. Aku menghempaskan diri. Tak sengaja. Memang aku begitu terluka oleh ulahnya dan meniatkan tak
menganggapnya lagi sebagai putriku, tetapi kabar ini begitu mencabik perasaanku. Neyna, putri cantikku itu telah pergi selamanya…
"Maafkan, saya tak bisa menjaganya," laki-laki itu telah mampu menguasai perasaannya. Sikapnya kembali tenang. "Semuanya berjalan begitu cepat. Suatu hari tiba-tiba saya jumpai Neyna muntah darah. Saat itu juga saya bawa dia ke rumah sakit. Beberapa hari di sana, dokter menganjurkan agar dibawa pulang saja. Kanker ganas di paru-parunya telah menjalar ke organ-organ lain dan tim medis sudah tidak bisa berbuat apa-apa," dia berhenti sebentar, menghela napas. " Salah saya, selama ini tak pernah memperhatikan kesehatannya."
Kami saling diam beberapa saat lamanya. Masing-masing larut dengan kenangan dan penyesalan.
"Kau suaminya?" tanyaku kemudian dengan nada yang lebih lunak. Dia menatapku sebentar sebelum mengangguk ragu. "Maaf, saya tak minta izin Tante lebih dulu." "Jadi ini anak Neyna," kataku lirih, hampir pada diri sendiri. "Kalau boleh, biar aku yang mengasuhnya,"
kataku tiba-tiba. Jaya tersenyum. "Makasih Tante, dia adalah napas saya. Jadi tak mungkin saya berpisah dengannya.
Meskipun saya tak mungkin memberi kemewahan padanya." Aku cukup tertampar dengan jawabannya. Tapi kutahan tak memberi reaksi apa pun pada jawaban itu. Tak lama kemudian laki-laki itu minta diri. Kuantar sampai pagar. Sambil kubuka pintu, sempat kutanya,
di mana mereka tinggal. "Kami di lereng Gunung Geni. Saya bekerja bersama penduduk yang terancam kehilangan kehidupan
mereka, karena rencana pembangunan taman nasional," jawab Jaya. Lalu mereka pun berlalu. Sebelum angkot yang mereka tumpangi benar-benar berlalu, masih sempat
kulihat lambaian tangan mungil anak Jaya padaku yang kubalas dengan lambaian pula. Aku masih berdiri di pagar sekalipun kedua tamuku telah lenyap bersama angkot yang membawa
mereka. Tiba-tiba aku teringat, sebentar lagi suamiku pulang. Dan dia tak boleh tahu apa yang terjadi. Jadi segera kututup pagar dan melangkah masuk. Membasuh muka lalu kembali duduk di depan tivi, sambil membuka-buka halaman koran Minggu. ***
Mimpi tentang Rumah Cerpen: Mustafa Ismail Sumber: Jawa Pos, Edisi 03/20/2005 KAMI punya rumah di kampung. Tidak besar, tapi cukup menyenangkan. Rumah itu semi permanen.
Ayah membangun rumah itu ketika aku kecil. Ibuku yang menimbun bagian dalam rumah itu, dengan tanah merah, sebelum diberi lantai dari semen campur pasir. Tanah itu diambil dari kebun kosong persis di depan bakal rumah kami, yang juga milik salah seorang famili ibu.
Waktu itu ibu tengah hamil adikku. Tetapi ibu tidak peduli. Ia memaksa diri mengangkut tanah untuk menimbun, karena bersemangat untuk punya rumah. Itu dilakukan ibu setiap pagi sampai matahari berada di atas kepala. Aku, yang waktu itu masih kecil, sepulang sekolah ikut membantu ibu. Biasanya aku mengangkut tanah dengan pengki dan membawa tertatih-tatih. Kalau sudah siang, ibu berhenti dan pulang untuk memasak. Aku juga ikut pulang karena lepas siang aku bersiap- siap untuk mengaji di meunasah.
*** AYAH dan ibu membangun rumah itu boleh dikata dengan semangat. Ayah seorang pegawai kecil di
sebuah sekolah dan ibu membantu menambah pendapatan keluarga dengan menanam sayur-sayuran di halaman rumah tempat kami tinggal yang memang cukup luas.
Kalau musim tanam kacang tanah atau semangka, ibu juga ikut serta bertani dengan menyewa sawah orang lain dengan sistem bagi hasil.